Wahai
saudaraku !, adakah kiranya di antara kalian yang sudi mendengarkan
sepenggal ceritaku ?, pada saat aku
mengembara, salah seorang pengikut mazhab Ahlut Ta'lim ( aliran kebatinan ) mendatangiku.
Ia menyergapku dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan. Sepertinya ia menantangku dengan kepandaian dan argumentasi - argumentasi yang menjerat.
mengembara, salah seorang pengikut mazhab Ahlut Ta'lim ( aliran kebatinan ) mendatangiku.
Ia menyergapku dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan. Sepertinya ia menantangku dengan kepandaian dan argumentasi - argumentasi yang menjerat.
Ia
berkata kepadaku ;" Aku lihat engkau mengklaim kesempurnaan
pengetahuan. dengan timbangan apa engkau menimbang kebenaran
pengetahuanmu ?apa dengan timbangan penalaran dan analogi, yang sarat
dengan kontradiksi dan kesimpangsiuran dan menimbulkan pertentangan,
ataukah dengan timbangan ahli kebatinan ( al ta'lim ) yang maksum dan banyak ilmunya ? Namun sepenglihatanku engkau tidak punya keinginan mencari imam tersebut ? ".
Aku jawab, : " Mengenai timbangan penalaran dan analogi, naudzu billah,
aku tidak menggunakanya. itu adalah timbangan setan. Jika ada sahabatku
yang menganggap bahwa penalaran dan analogi adalah timbangan
pengetahuan, maka aku memohon kepada Allah untuk melindungiku dari
kejahatanya yang berdampak buruk pada agama. Menurut agama, ia adalah
teman yang bodoh, dan teman yang bodoh lebih berbahaya daripada musuh
yang cerdas."
Seandainya ia beroleh kebahagiaan dalam mengikuti
madzhab ahl at ta'lim, sejak awal tentu ia telah mengetahui bagaimana
cara berdebat dari Alquran Yang Mulia, dimana Allah berfirman : " Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ( Q.S 16 : 125 ) ."
Ketahuilah bahwa menyeru kepada Allah dengan hikmah ( al hikmah ), pelajaran yang baik ( al mau'izhah al hasanah ), dan adu argumen atau perdebatan ( al mujadalah ) memiliki
audiens masing - masing. bila pendekatan hikmah diterapkan kepada
audiens yang cocok dengan pendekatan al mau'izhah hasanah, niscaya
pendekatan hikmah akan menimbulkan bahaya bagi mereka, seperti bahayanya
daging ayam bila diberikan kepada bayi yang seharusnya minum susu.
Demikian pula, bila pendekatan al mujadalah diterapkan kepada audiens
yang seharusnya diseru dengan pendekatan hikmah, niscaya mereka akan
muak, seperti muaknya seorang laki - laki yang gagah dan kuat ketika
disuruh minum asi. Bahkan, orang yang menggunakan pendekatan al
mujadalah kepada ahlinya, tetapi dengan cara yang kurang baik
sebagaimana diajarkan Al quran, tidak jauh beda dengan orang yang
menghidangkan roti kepada orang badui yang terbiasa makan kurma, atau
menyuguhkan kurma kepada orang kota yang terbiasa makan roti.
Mudah
- mudahan pengikut mazhab ahl at ta'lim itu menemukan teladan yang
baik, sebagaimana telah ia pelajari dari Al quran, dalam diri Ibrahim Al
khalil AS sewaktu beliau beradu argumentasi dengan musuhnya ( Namrudz ). Awalnya beliau berkata, " Tuhanku adalah yang menghidupkan dan yang mematikan ku " ( Q.S 2 : 258 ).
Tatkala beliau merasa bahwa argumentasi tersebut tidak pas dengan lawan
bicaranya dan menurutnya tidak baik, karena lawanya menjawab, " aku dapat menghidupkan dan mematikan " ( Q.S 2 : 258 ),
maka beliau mengubah argumentasinya dengan yang lebih cocok dengan
tabiat lawan bicaranya dan akan lebih mudah dipahami olehnya. Beliau
berkata :" Sesungguhnya Allah ( Tuhanku ) menerbitkan matahari dari timur. ( kalau memang engkau berkuasa seperti Tuhanku ), terbitkanlah ia dari barat." ( Q.S 2 : 258 ). Ditantang seperti itu, lawan bicaranya yang kafir terdiam seribu bahasa.
Nabi
Ibrahim tidak bersikukuh memperdebatkan ketidak mampuan lawan bicaranya
untuk menghidupkan orang yang mati, karena menurut beliau hal itu sulit
dipahami oleh lawan bicaranya. Orang kafir itu mengira bahwa membunuh
merupakan kemampuanya membuat kematian. Memperdebatkan masalah tersebut
tidak cocok dengan tabiat, derajat, dan cara pandangnya. Dan, yang
sebetulnya diinginkan Ibrahim dari lawan bicaranya adalah kemampuan
menghidupkan, bukan kemampuan mematikan. Memberi makan seseorang dengan
makanan yang sesuai dengan kondisinya berarti menghidupkan. Sementara
itu, memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaanya berarti
mematikan. Hal - hal pelik semacam ini hanya akan diketahui dengan
pancaran cahaya pengajaran ( nur at ta'lim ) yang
bersumber dari pancaran alam kenabian. Ternyata, kaum ahl at ta'lim
sendiri menghalang - halangi upaya - upaya penyerapan cahaya itu, karena
mereka tidak ingin rahasia mazhabnya terbongkar ".
Ia ( pengikut ahl at ta'lim )
: " kalau memang engkau mencela metode yang di pakai oleh kaum ahl at
ta'lim dan menganggap dalil mereka lemah, lalu dengan apa engkau
menimbang pengetahuanmu ?"
Aku ( Al Ghozali ) :" Aku menimbangnyaa dengan neraca yang benar ( al qisthas al mustaqim ),
agar jelas mana yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus dan
mana yang bengkok, sesuai dengan arahan Allah dan ajaran Ajaran Al quran
yang diturunkan melalui lisan Nabi - Nya yang terpercaya, dimana Allah
berfirman "... Dan timbanglah dengan neraca yang benar " (Q.S 17 : 35 ).
Ia : " Apa yang engkau maksud dengan neraca yang benar ( alqisthas al mushtaqim ) ?"
Aku
: " yang aku maksud adalah lima neraca yang diterangkan Allah dalam
kitab - Nya dan Dia ajarkan kepada para Nabi - Nya. Barang siapa belajar
dari Rosululloh SAW dan menimbang dengan neraca Allah, maka ia mendapat
petunjuk sehingga menimbang dengan benar. Barang siapa berpaling dari
timbangan itu dan malah memilih timbangan penalaran dan analogi, maka ia
tersesat sehingga ia binasa."
Ia : " Memangnya dalam Al quran ada neraca - neraca itu ?itu kan hanya akal - akalan dan kebohonganmu saja ?"
Aku : " Apakah engkau belum pernah mendengar Firman Allah dalam surat Ar rahman :..Tuhan
Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al quran. Dia menciptakan
manusia, mengajarinya pandai berbicara. Matahari dan bulan ( beredar )
menurut perhitungan. Tumbuh - tumbuhan dan pepohonan kedua - duanya
tunduk kepada - Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakan neraca ( keadilan ). Supaya
kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Tegakanlah timbangan
itu dengan adil, dan janganlah kalian mengurangi timbangan itu ( Q.S 55 : 1 - 9 ) ?
Apakah engkau juga belum pernah mendengar Firman Allah dalam surat Al hadid :...Sesungguhnya
kami telah mengutus rasul - rasul Kami dengan membawa bukti - bukti
yang nyata, dan kami turunkan bersama meraka Al kitab dan neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ( Q.S 57 : 25 )?
Apa
engkau kira neraca yang disandingkan dengan Al kitab itu neraca untuk
menimbang beras, kacang, emas, dan perak ?, menurutmu, apakah neraca
yang peletakanya disandingkan dengan pengangkatan langit itu -- Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakan Neraca ( keadilan ) ( Q.S 55 : 7 )--
adalah dacin ?. Perkiraan seperti itu terlalu jauh menyimpang dan
sangat besar kebohonganya. Bertakwalah kepada Allah dan jangan gegabah
dalam menakwilkan. Ketahuilah dengan benar bahwa neraca itu adalah
timbangan untuk mengetahui Allah, para malaikat - Nya, kitab - kitab -
Nya, para Rasul - Nya, kerajaan alam nyata ( mulk ) - Nya dan kerajaan alam ghaib ( malakut )
- Nya ! Belajarlah bagaimana cara menggunakan timbangan itu dari para
nabi, sebagaimana mereka belajar dari para Malaikat. Guru pertama adalah
Allah, guru kedua adalah Jibril dan guru ketiga adalah Rasululloh saw.
Seluruh manusia harus belajar dari para rasul, karena mereka tidak akan
mengetahui timbangan itu, kecuali dengan belajar kepada para nabi."
Ia
: " Bgaimana engkau bisa tahu bahwa timbangan itu benar atau salah ?
Apa dengan akal yang selalu menimbulkan kontradiksi dan sebatas
penalaranmu saja ?ataukah karena diberitahu oleh imam yang maksum, jujur
dan menegakan kebenaran di dunia ini ?cara yang kedua ini adalah metode
yang dikembangkan mazhab ahl at ta'lim yang aku serukan itu. "
Aku
: " Hal itu aku ketahui dengan berguru, tetapi aku berguru langsung
kepada gurunya para imam, yaitu Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul
Muthalib. Meskipun aku tidak bertemu dengan beliau, aku dapat menyimak
ajaranya yang sampai kepadaku secara mutawatir dan tidak perlu ku
ragukan lagi. Ajaran beliau tidak lain adalah Al quran. Dan ihwal
kebenaran timbangan - timbangan Al quran dapat diketahui dari Alquran
sendiri. "
Ia : " Coba tunjukan bukti - buktinya !, mana timbangan
- timbangan yang menurutmu berasal dari Alquran ?, bagaimana caramu
mengetahui kebenaran dan keabsahan timbangan - timbangan dari Al quran
itu ? "
Aku : " Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, coba engkau
ceritakan dulu kepadaku, dengan apa engkau mengetahui keabsahan dan
kebenaran timbangan emas dan perak ?, mengetahui kebenaran timbangan
merupakan kewajiban bila engkau punya utang agar engkau bisa melunasinya
dengan pas dan tidak kurang. Atau ketika orang lain berutang kepadamu,
agar engkau mengambil pembayanya dengan pas dan tidak melebihi dari yang
seharusnya. Ketika engkau masuk pasar kaum muslim, lalu engkau
mengambil salah satu timbangan yang ada disana untuk menimbang sesuatu
yang akan engkau bayarkan atau menimbang bayaran yang engkau terima,
bagaimana engkau tahu bahwa engkau tidak berlaku curang dengan
mengurangi apa yang seharusnya engkau bayarkan atau melebihi dari yang
seharusnya engkau tagih ? "
Ia : " Aku berprasangka baik kepada sesama umat islam. Menurutku, sebelum terjun ke dalam bisnis ( mu'amalah )
pastilah timbangan - timbangan yang mereka pergunakan telah diuji
terlebih dahulu. Ketika aku meragukan timbangan yang akan aku pakai, aku
akan langsung mengambil dan mengangkatnya. akan kulihat kedua piringan
timbangan dan lidahnya. Jika lidah timbangan itu sama rata dan piringan
timbanganya sejajar, maka -- menurutku -- timbangan itu sedah benar dan
sah."
Aku : " Anggap saja lidah timbangan itu telah sama rata dan
kedua piringanya telah seimbang. Lalu, dari mana engkau tahu bahwa
timbangan itu benar ? "
Ia : " Aku mengetahui kebenarannya secara
pasti dari dua premis pengetahuan yang telah aku dapatkan sebelumnya,
yaitu premis eksperimental ( pengalaman )
dan premis indrawi. Mengenai premis pertama, berdasarkan pengalaman aku
tahu bahwa sesuatu yang berat akan turun, apalagi yang lebih berat.
Jadi, aku berpendapat bahwa bila salah satu piringan timbangan lebih
berat, pasti piringan itu turun. Ini adalah premis umum eksperimental
yang aku peroleh secara aksiomatis. Akan halnya premis kedua, kulihat
salah satu piring timbangan itu sendiri tidak turun dan sejajar satu
sama lain. Inilah premis inderawi yang aku saksikan dengan mataku
sendiri. Aku tidak meragukan premis inderawi ini dan juga premis
pertama. Kedua premis ini praktis menghasilkan kesimpulan yang tak
terbantahkan di dalam hatiku, yakni keseimbangan timbangan. Sebab, kalau
salah satunya lebih berat, pasti yang lebih berat itu akan turun. Dalam
kenyataanya, aku lihat salah satu dari dua piringan itu tidak ada yang
turun. Ini berarti tidak ada yang lebih berat. "
Aku : " Bukankah yang demikian itu penalaran dan analogi rasional ? "
Ia : " Sama sekali bukan ! Ini adalah ilmu dharuri ( aksioma )
yang dihasilkan dari premis - premis yang meyakinkan. Keyakinan yang
dihasilkan dari premis - premis itu bermula dari pengalaman dan
pengindraan. Bagaimana hal itu di sebut penalaran dan anologi? Penalaran
dan anologi hanyalah mengira dan menduga yang tidak menghasilkan
keyakinan penuh, sementara dalam hal ini aku sangat yakin. "
Aku :
" Jika dengan argumentasi itu, engkau mengetahui keabsahan timbangan,
lalu dengan apa engkau mengetahui ukuran berat sesuatu? Bisa saja ia
lebih ringan atau lebih berat daripada bobot yang sesungguhnya. "
Ia
: '' Jika aku ragu, maka aku ukur kembali hasil timbangan itu dengan
neraca yang sudah biasa aku pakai. Lalu, aku bandingkan hasil timbangan
itu dengan hasil timbangan ini. Jika hasilnya sama, maka emas yang
bobotnya sama dengan hasil timbangan ini pasti sama dengan hasil
timbangan itu, karena yang sama dengan yang sama adalah sama. "
Aku
: " Apakah engkau mengetahui orang yang pertama membuat timbangan itu ?
apakah benar ia penemunya ? Orang yang membuat ini pasti mengetahui
cara kerja timbangan ini. "
Ia : "Tidak, dan aku tidak perlu
mengetahuinya. Aku mengetahui kebeneran timbangan dengan mengamati dan
melihat. Aku suka makan sayuran dari manapun datangnya dan aku tidak
perlu bertanya dulu di mana sayuran itu ditanam. Begitu juga dalam
masalah timbang-menimbang. Mengetahui pembuat timbangan bukan tujuan.
Yang menjadi tujuan adalah mengetahui kebenaran timbangan dan cara
menggunakannya. Dan seperti telah aku ceritakan kepadamu,aku telah
mengetahui kebenarannya dan cara kerjanya. Karenannya, setiap kali aku
menimbang, aku tidak perlu lagi repot-repot datang kepada pembuatnya
untuk menanyakan kebenarannya. Hal itu akan membuat urusan menjadi lama
dan tidak mungkin bisa dilakukan setiap saat, di samping itu, aku tidak
membutuhkannya."
Aku : " Jika aku menghadirkan timbangan
pengetahuan kepadamu seperti itu dan aku tambahkan bahwa aku mengetahui
pembuat, pengajar, dan pemakainya dan bahwa pembuatnya adalah Allah ;
pengajarnya adalah Jibril, dan pemakainya adalah Ibrahim al-Khalil,
Muhamad saw, dan para nabi lainnya, dan Allah sendiri telah bersaksi
atas kebenarannya, apakah engkau akan menerimannya ? Apakah engkau akan
mempercayainya?"
Ia : " Kalau yang Anda katakan itu benar, mana mungkin aku tidak mempercayainya!"
Aku
: " Sekarang menengarai ada kepintaran dalam dirimu. Harapanku untuk
meluruskan dan membuatmu paham tentang hakikat mazhabmu bisa terpenuhi.
Karenanya, akan aku beberkan kepadamu kelima timbangan yang di terangkan
dalam Alquran, agar engkau tidak lagi membutuhkan seorang imam dan
engkau bisa melewati batas-batas kebutaan. Untuk selanjutnya, imammu
adalah Nabi Muhamad al-Mushtafa; penuntunmu adalah Alquran, dan standar
pengetahuanmu adalah penglihatan.
Ketahuilah, pada dasarnya, timbangan-timbangan yang ada dalam Alquran itu ada tiga: timbangan keseimbangan ( at-ta'adul ) , pertautan ( at-talazum ) , dan pertentangan ( at-ta'anud ).
Kemudian, timbangan keseimbangan dibagi lagi menjadi 3 kategori: besar,
pertengahan, dan kecil. Dengan demikian keseluruhan keseimbangan itu
ada lima."
0 comments:
Posting Komentar