Jumat, 19 Agustus 2011

Bismillahirrahmanirrokhim


Pertama - tama, aku sanjungkan Pujian kepada Allah. Selanjutnya, aku haturkan shalawat dan salam kepada Nabi pilihan - Nya.

Wahai saudaraku !, adakah kiranya di antara kalian yang sudi mendengarkan sepenggal ceritaku ?, pada saat aku
mengembara, salah seorang pengikut mazhab Ahlut Ta'lim ( aliran kebatinan ) mendatangiku.
Ia menyergapku dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan. Sepertinya ia menantangku dengan kepandaian dan argumentasi - argumentasi yang menjerat.
Ia berkata kepadaku ;" Aku lihat engkau mengklaim kesempurnaan pengetahuan. dengan timbangan apa engkau menimbang kebenaran pengetahuanmu ?apa dengan timbangan penalaran dan analogi, yang sarat dengan kontradiksi dan kesimpangsiuran dan menimbulkan pertentangan, ataukah dengan timbangan ahli kebatinan ( al ta'lim ) yang maksum dan banyak ilmunya ? Namun sepenglihatanku engkau tidak punya keinginan mencari imam tersebut ? ".

Aku jawab, : " Mengenai timbangan penalaran dan analogi, naudzu billah, aku tidak menggunakanya. itu adalah timbangan setan. Jika ada sahabatku yang menganggap bahwa penalaran dan analogi adalah timbangan pengetahuan, maka aku memohon kepada Allah untuk melindungiku dari kejahatanya yang berdampak buruk pada agama. Menurut agama, ia adalah teman yang bodoh, dan teman yang bodoh lebih berbahaya daripada musuh yang cerdas."
Seandainya ia beroleh kebahagiaan dalam mengikuti madzhab ahl at ta'lim, sejak awal tentu ia telah mengetahui bagaimana cara berdebat dari Alquran Yang Mulia, dimana Allah berfirman : " Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ( Q.S 16 : 125 ) ."
Ketahuilah bahwa menyeru kepada Allah dengan hikmah ( al hikmah ), pelajaran yang baik ( al mau'izhah al hasanah ), dan adu argumen atau perdebatan ( al mujadalah ) memiliki audiens masing - masing. bila pendekatan hikmah diterapkan kepada audiens yang cocok dengan pendekatan al mau'izhah hasanah, niscaya pendekatan hikmah akan menimbulkan bahaya bagi mereka, seperti bahayanya daging ayam bila diberikan kepada bayi yang seharusnya minum susu. Demikian pula, bila pendekatan al mujadalah diterapkan kepada audiens yang seharusnya diseru dengan pendekatan hikmah, niscaya mereka akan muak, seperti muaknya seorang laki - laki yang gagah dan kuat ketika disuruh minum asi. Bahkan, orang yang menggunakan pendekatan al mujadalah kepada ahlinya, tetapi dengan cara yang kurang baik sebagaimana diajarkan Al quran, tidak jauh beda dengan orang yang menghidangkan roti kepada orang badui yang terbiasa makan kurma, atau menyuguhkan kurma kepada orang kota yang terbiasa makan roti.
Mudah - mudahan pengikut mazhab ahl at ta'lim itu menemukan teladan yang baik, sebagaimana telah ia pelajari dari Al quran, dalam diri Ibrahim Al khalil AS sewaktu beliau beradu argumentasi dengan  musuhnya ( Namrudz ). Awalnya beliau berkata, " Tuhanku adalah yang menghidupkan dan yang mematikan ku " ( Q.S 2 : 258 ). Tatkala beliau merasa bahwa argumentasi tersebut tidak pas dengan lawan bicaranya dan menurutnya tidak baik, karena lawanya menjawab, " aku dapat menghidupkan dan mematikan " ( Q.S 2 : 258 ), maka beliau mengubah argumentasinya dengan yang lebih cocok dengan tabiat lawan bicaranya dan akan lebih mudah dipahami olehnya. Beliau berkata :" Sesungguhnya Allah ( Tuhanku ) menerbitkan matahari dari timur. ( kalau memang engkau berkuasa seperti Tuhanku ), terbitkanlah ia dari barat." ( Q.S 2 : 258 ). Ditantang seperti itu, lawan bicaranya yang kafir terdiam seribu bahasa.
Nabi Ibrahim tidak bersikukuh memperdebatkan ketidak mampuan lawan bicaranya untuk menghidupkan orang yang mati, karena menurut beliau hal itu sulit dipahami oleh lawan bicaranya. Orang kafir itu mengira bahwa membunuh merupakan kemampuanya membuat kematian. Memperdebatkan masalah tersebut tidak cocok dengan tabiat, derajat, dan cara pandangnya. Dan, yang sebetulnya diinginkan Ibrahim dari lawan bicaranya adalah kemampuan menghidupkan, bukan kemampuan mematikan. Memberi makan seseorang dengan makanan yang sesuai dengan kondisinya berarti menghidupkan. Sementara itu,  memaksakan  sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaanya berarti mematikan. Hal - hal pelik semacam ini hanya akan diketahui dengan pancaran cahaya pengajaran ( nur at ta'lim ) yang bersumber dari pancaran alam kenabian. Ternyata, kaum ahl at ta'lim sendiri menghalang - halangi upaya - upaya penyerapan cahaya itu, karena mereka tidak ingin rahasia mazhabnya terbongkar ".
Ia ( pengikut ahl at ta'lim ) : " kalau memang engkau mencela metode yang di pakai oleh kaum ahl at ta'lim dan menganggap dalil mereka lemah, lalu dengan apa engkau menimbang pengetahuanmu ?"
Aku ( Al Ghozali ) :" Aku menimbangnyaa dengan neraca yang benar ( al qisthas al mustaqim ), agar jelas mana yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus dan mana yang bengkok, sesuai dengan arahan Allah dan ajaran Ajaran Al quran yang diturunkan melalui lisan Nabi - Nya yang terpercaya, dimana Allah berfirman "... Dan timbanglah dengan neraca yang benar " (Q.S 17 : 35 ).
Ia : " Apa yang engkau maksud dengan neraca yang benar ( alqisthas al mushtaqim ) ?"
Aku : " yang aku maksud adalah lima neraca yang diterangkan Allah dalam kitab - Nya dan Dia ajarkan kepada para Nabi - Nya. Barang siapa belajar dari Rosululloh SAW dan menimbang dengan neraca Allah, maka ia mendapat petunjuk sehingga menimbang dengan benar. Barang siapa berpaling dari timbangan itu dan malah memilih timbangan penalaran dan analogi, maka ia tersesat sehingga ia binasa."
Ia : " Memangnya dalam Al quran ada neraca - neraca itu ?itu kan hanya akal - akalan dan kebohonganmu saja ?" 
Aku : " Apakah engkau belum pernah mendengar Firman Allah dalam surat Ar rahman :..Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al quran. Dia menciptakan manusia, mengajarinya pandai berbicara. Matahari dan bulan ( beredar ) menurut perhitungan. Tumbuh - tumbuhan dan pepohonan kedua - duanya tunduk kepada - Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakan neraca ( keadilan ). Supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Tegakanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kalian mengurangi timbangan itu ( Q.S 55 : 1 - 9 ) ?
Apakah engkau juga belum pernah mendengar Firman Allah dalam surat Al hadid :...Sesungguhnya kami telah mengutus rasul - rasul Kami dengan membawa bukti - bukti yang nyata, dan kami turunkan bersama meraka Al kitab dan neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ( Q.S 57 : 25 )?
Apa engkau kira neraca yang disandingkan dengan Al kitab itu neraca untuk menimbang beras, kacang, emas, dan perak ?, menurutmu, apakah neraca yang peletakanya disandingkan dengan pengangkatan langit itu -- Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakan Neraca ( keadilan ) ( Q.S 55 : 7 )-- adalah dacin ?. Perkiraan seperti itu terlalu jauh menyimpang dan sangat besar kebohonganya. Bertakwalah kepada Allah dan jangan gegabah dalam menakwilkan. Ketahuilah dengan benar bahwa neraca itu adalah timbangan untuk mengetahui Allah, para malaikat - Nya, kitab - kitab - Nya, para Rasul - Nya, kerajaan alam nyata  ( mulk ) - Nya dan kerajaan alam ghaib ( malakut ) - Nya ! Belajarlah bagaimana cara menggunakan timbangan itu dari para nabi, sebagaimana mereka belajar dari para Malaikat. Guru pertama adalah Allah, guru kedua adalah Jibril dan guru ketiga adalah Rasululloh saw. Seluruh manusia harus belajar dari para rasul, karena mereka tidak akan mengetahui timbangan itu, kecuali dengan belajar kepada para nabi."
Ia : " Bgaimana engkau bisa tahu bahwa timbangan itu benar atau salah ? Apa dengan akal yang selalu menimbulkan kontradiksi dan sebatas penalaranmu saja ?ataukah karena diberitahu oleh imam yang maksum, jujur dan menegakan kebenaran di dunia ini ?cara yang kedua ini adalah metode yang dikembangkan mazhab ahl at ta'lim yang aku serukan itu. "
Aku : "  Hal itu aku ketahui dengan berguru, tetapi aku berguru langsung kepada gurunya para imam, yaitu Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muthalib. Meskipun aku tidak bertemu dengan beliau, aku dapat menyimak ajaranya yang sampai kepadaku secara mutawatir dan tidak perlu ku ragukan lagi. Ajaran beliau tidak lain adalah Al quran. Dan ihwal kebenaran timbangan - timbangan Al quran dapat diketahui dari Alquran sendiri. "
Ia : " Coba tunjukan bukti - buktinya !, mana timbangan - timbangan yang menurutmu berasal dari Alquran ?, bagaimana caramu mengetahui kebenaran dan keabsahan timbangan - timbangan dari Al quran itu ? "
Aku : " Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, coba engkau ceritakan dulu kepadaku, dengan apa engkau mengetahui keabsahan dan kebenaran timbangan emas dan perak ?, mengetahui kebenaran timbangan merupakan kewajiban bila engkau punya utang agar engkau bisa melunasinya dengan pas dan tidak kurang. Atau ketika orang lain berutang kepadamu, agar engkau mengambil pembayanya dengan pas dan tidak melebihi dari yang seharusnya. Ketika engkau masuk pasar kaum muslim, lalu engkau mengambil salah satu timbangan yang ada disana untuk menimbang sesuatu yang akan engkau bayarkan atau menimbang bayaran yang engkau terima, bagaimana engkau tahu bahwa engkau tidak berlaku curang dengan mengurangi apa yang seharusnya engkau bayarkan atau melebihi dari yang seharusnya engkau tagih ? "
Ia : " Aku berprasangka baik kepada sesama umat islam. Menurutku, sebelum terjun ke dalam bisnis ( mu'amalah ) pastilah timbangan - timbangan yang mereka pergunakan telah diuji terlebih dahulu. Ketika aku meragukan timbangan yang akan aku pakai, aku akan langsung mengambil dan mengangkatnya. akan kulihat kedua piringan timbangan dan lidahnya. Jika lidah timbangan itu sama rata dan piringan timbanganya sejajar, maka -- menurutku -- timbangan itu sedah benar dan sah."
Aku : " Anggap saja lidah timbangan itu telah sama rata dan kedua piringanya telah seimbang. Lalu, dari mana engkau tahu bahwa timbangan itu benar ? "
Ia : " Aku mengetahui kebenarannya secara pasti dari dua premis pengetahuan yang telah aku dapatkan sebelumnya, yaitu premis eksperimental ( pengalaman ) dan premis indrawi. Mengenai premis pertama, berdasarkan pengalaman aku tahu bahwa sesuatu yang berat akan turun, apalagi yang lebih berat. Jadi, aku berpendapat bahwa bila salah satu piringan timbangan lebih berat, pasti piringan itu turun. Ini adalah premis umum eksperimental yang aku peroleh secara aksiomatis. Akan halnya premis kedua, kulihat salah satu piring timbangan itu sendiri tidak turun dan sejajar satu sama lain. Inilah premis inderawi yang aku saksikan dengan mataku sendiri. Aku tidak meragukan premis inderawi ini dan juga premis pertama. Kedua premis ini praktis menghasilkan kesimpulan yang tak terbantahkan di dalam hatiku, yakni keseimbangan timbangan. Sebab, kalau salah satunya lebih berat, pasti yang lebih berat itu akan turun. Dalam kenyataanya, aku lihat salah satu dari dua piringan itu tidak ada yang turun. Ini berarti tidak ada yang lebih berat. "
Aku : " Bukankah yang demikian itu penalaran dan analogi rasional ? "
Ia : " Sama sekali bukan ! Ini adalah ilmu dharuri ( aksioma ) yang dihasilkan dari premis - premis yang meyakinkan. Keyakinan yang dihasilkan dari premis - premis itu bermula dari pengalaman dan pengindraan. Bagaimana hal itu di sebut penalaran dan anologi? Penalaran dan anologi hanyalah mengira dan menduga yang tidak menghasilkan keyakinan penuh, sementara dalam hal ini aku sangat yakin. "
Aku : " Jika  dengan argumentasi itu, engkau mengetahui keabsahan timbangan, lalu dengan apa engkau mengetahui ukuran berat sesuatu? Bisa saja ia lebih ringan atau lebih berat daripada bobot yang sesungguhnya. "
Ia : '' Jika aku ragu, maka aku ukur kembali hasil timbangan itu dengan neraca yang sudah biasa aku pakai. Lalu, aku bandingkan hasil timbangan itu dengan hasil timbangan ini. Jika hasilnya sama, maka emas yang bobotnya sama dengan hasil timbangan ini pasti sama dengan hasil timbangan itu, karena yang sama dengan yang sama adalah sama. "
Aku : " Apakah engkau mengetahui orang yang pertama membuat timbangan itu ? apakah benar ia penemunya ? Orang yang membuat ini pasti mengetahui cara kerja timbangan ini. "
Ia : "Tidak, dan aku tidak perlu mengetahuinya. Aku mengetahui kebeneran timbangan dengan mengamati dan melihat. Aku suka makan sayuran dari manapun datangnya dan aku tidak perlu bertanya dulu di mana sayuran itu ditanam. Begitu juga dalam masalah timbang-menimbang. Mengetahui pembuat timbangan bukan tujuan. Yang menjadi tujuan adalah mengetahui kebenaran timbangan dan cara menggunakannya. Dan seperti telah aku ceritakan kepadamu,aku telah mengetahui kebenarannya dan cara kerjanya. Karenannya, setiap kali aku menimbang, aku tidak perlu lagi repot-repot datang kepada pembuatnya untuk menanyakan kebenarannya. Hal itu akan membuat urusan menjadi lama dan tidak mungkin bisa dilakukan setiap saat, di samping itu, aku tidak membutuhkannya."
Aku : " Jika aku menghadirkan timbangan pengetahuan kepadamu seperti itu dan aku tambahkan bahwa aku mengetahui pembuat, pengajar, dan pemakainya dan bahwa pembuatnya adalah Allah ; pengajarnya adalah Jibril, dan pemakainya adalah Ibrahim al-Khalil, Muhamad saw, dan para nabi lainnya, dan Allah sendiri telah bersaksi atas kebenarannya, apakah engkau akan menerimannya ? Apakah engkau akan mempercayainya?"
Ia : " Kalau yang Anda katakan itu benar, mana mungkin aku tidak mempercayainya!"
Aku : " Sekarang menengarai ada kepintaran dalam dirimu. Harapanku untuk meluruskan dan membuatmu paham tentang hakikat mazhabmu bisa terpenuhi. Karenanya, akan aku beberkan kepadamu kelima timbangan yang di terangkan dalam Alquran, agar engkau tidak lagi membutuhkan seorang imam dan engkau bisa melewati batas-batas kebutaan. Untuk selanjutnya, imammu adalah Nabi Muhamad al-Mushtafa; penuntunmu adalah Alquran, dan standar pengetahuanmu adalah penglihatan.
Ketahuilah, pada dasarnya, timbangan-timbangan yang ada dalam Alquran itu ada tiga: timbangan keseimbangan ( at-ta'adul ) , pertautan ( at-talazum ) , dan pertentangan ( at-ta'anud ). Kemudian, timbangan keseimbangan dibagi lagi menjadi 3 kategori: besar, pertengahan, dan kecil. Dengan demikian keseluruhan keseimbangan itu ada lima."

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...