Jumat, 27 Juli 2012

Menyelamatkan Manusia Dari Kabut Gelap Perbedaan

Ia : Bagaimana supaya manusia bisa selamat dari perbedaan pendapat ?

Aku : Hendaknya mereka mendengarkanku. Aku akan melenyapkan perbedaan di antara mereka dengan kitab Allah. Sayangnya tidak ada cara yang membuat mereka mau mendengar. Para Nabi dan Imam engkau pun tidak mereka dengar, bagaimana mungkin mereka mau mendengarkanku ? bagaimana mungkin mereka mau berkumpul untuk mendengarkanku, sementara di azali sudah ada ketetapan bahwa mereka akan senantiasa berbeda pendapat, kecuali orang yang dikasihi oleh Tuhanmu, dan untuk itulah mereka diciptakan ? Perbedaan di antara mereka tidak akan bisa terelakan. Hal ini bisa engkau ketahui dalam kitab Jawab Mufashshal Al khilaf yang berisikan 12 pasal.

Ia : Seandainya saja mereka mau mendengar, apa yang akan anda perbuat ?
 
Aku : Aku akan memperlakukan mereka dengan sebuah ayat dari kitab Allah, dimana Dia berfirman :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul – rasul kami dengan membawa bukti – bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, ( supaya mereka mempergunakan besi itu ) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong ( agama ) Nya dan rasul – rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa ( QS 57 : 25 )
Menurut ayat ini, manusia terdiri dari tiga kelompok. Kitab, besi, dan timbangan adalah terapi bagi tiap – tiap kelompok itu.
Ia : Siapa mereka dan bagaimana cara menyembuhkan mereka ?
Aku : Manusia terdiri dari tiga kelompok : pertama, kelompok awam. Mereka adalah ahli keselamatan yang bodoh dan merupakan ahli surge; kedua, kelompok khawas. Mereka adalah orang – orang cerdik pandai dan mempunyai mata hati. Dari sebagian kelompok ini kemudian terlahir kelompok ketiga, yaitu kelompok ahli debat dan para pemicu keonaran. Mereka mengikuti sebagian ayat – ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah.
Kelompok pertama, orang – orang khawas. Aku akan menangani kelompok ini dengan mengajari mereka timbangan – timbangan keadilan dan cara menggunakanya, sehingga perbedaan yang terjadi di antara mereka dalamtempo yang tidak begitu lama bisa dihilangkan. Mereka merupakan kaum yang memiliki 3 karakteristik : pertama, watak yang gigih dan kecerdasan yang kuat. Ini merupakan anugerah dan dan insting bawaan yang tidak bisa didapat dengan diusahakan; kedua, hati mereka kosong dari taqlid dan fanatisme kepada mazhab warisan atau yang mereka dengar. Orang yang taqlid biasanya tidak mau mendengar. Meski mau mendengar, orang bodoh ini tidak akan paham; dan ketiga, meyakini bahwa aku adalah salah seorang pakar timbangan. Orang yang tidak percaya bahwa engkau mengetahui ilmu hitung, tidak mungkin belajar berhitung kepadamu.
Kelompok Kedua, orang – orang awam.mereka adalah kalangan umum yang tidak memiliki kecerdasan untuk memahami berbagai hakikat. Meski mereka mempunyai kecerdasan bawaan ( fathanah Fithriyah ), mereka tidak mempunyai motifasi untuk mencari tahu. Mereka disibukan dengan pekerjaan dan profesi. Mereka juga tidak memiliki motivasi untuk berdebat, berbeda dengan kaum intelektual. Selain itu, mereka pun tidak dapat memahaminya. Mereka memang tidak berbeda pendapat, tetapi mereka memilih panutan di antara imam yang berbeda pendapat.
Menghadapi sekelompok ini, aku akan mengajak mereka kembali kepada Allah dengan petuah, sebagaimana aku menyeru orang – orang yang memiliki mata hati dengan hikmah dan mengajak ahli debat dengan perdebatan ( mujadalah ). Allah SWT telah mengumpulkan ketiga kelompok ini dalam satu ayat seperti yang telah aku bacakan tadi kepadamu.
Aku akan mengatakan kepada orang – orang awam ini apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada seorang badui arabi yang menghadap kepadanya. Badui itu berkata kepadanya :” ajari aku ilmu – ilmu yang aneh ( gharib al ilm ) !” Rasulullah SAW yakin bahwa badui itu masih belum pantas mendapatkanya, karenanya beliau bersabda, “ Apa yang telah kamu amalkan dalam pangkal ilmu ( iman, taqwa, dan persiapan – persiapan untuk akhirat ) ? pergi dan mantapkanlah dulu pangkal ilmu. Jika sudah  mantap, kembali lagi kesini, akan kuajari kamu keanehan – keanehanya !”
Akan aku katakan kepada orang yang awam :” Menceburkan diri ke dalam perbedaan pendapat bukanlah kehidupanmu. Lakukanlah apa yang sesuai kehidupanmu. Awas ! Engkau jangan sampai menceburkan diri ke dalamnya atau menyimaknya, niscaya engkau akan binasa. Jika engkau menghabiskan umurmu dalam pekerjaan pengemasan, engkau tidak akan bisa menjadi ahli rajut. Engkau telah menghabiskan umurmu bukan dalam kegiatan ilmiah, bagaimana mungkin engkau menjadi ahli ilmu dan berkecimpung di dalamnya. Awas hati – hati, jangan sampai membinasakan dirimu !, “ bagi orang awam, melakukan sebuah dosa besar lebih ringan hukumanya daripada berkecimpung dalam ilmu, karena hal itu bisa mengakibatkanya menjadi kufur, sementara ia tidak menyadarinya.
Jika orang awam itu berkata :” Harus ada agama yang aku yakini dan aku amalkan agar bisa menggapai ampunan. Orang – orang terkotak – kotak ke dalam berbagai agama. Lalu agama mana yang Anda anjurkan untuk aku anut ?” Akan aku katakan kepadanya : “Agama mempunyai ushul ( aspek – aspek prinsipil ) dan furu’ ( aspek – aspek cabang ). Dalam keduanya sama – sama terjadi perbedaan pendapat. Untuk masalah ushul, engkau harus meyakini apa yang ada dalam Al quran saja. Allah SWT tidak menutup – nutupi sifat dan nama – nama-Nya kepada para hamba-Nya. Engkau harus yakin bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, Dia Maha Hidup, Maha tahu, Maha kuasa, Maha mendengar, Maha melihat, Maha perkasa, Maha memiliki keagungan, Mahasuci, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai – Nya, hingga meyakini semua sifat yang tertera dalam Al quran dan disepakati oleh seluruh ulama. Itu sudah cukup dalam keabsahan beragama. Jika engkau menemukan sesuatu yang rancu, katakana saja : ‘Aku mengimani semua yang datang dari Tuhanku !’ yakinilah semua keterangan yang menerangkan penetapan dan penyangkalan sifat – sifat Allah dengan penghormatan dan penyucian, serta menyangkal adanya keserupaan dengan meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Setelah itu, jangan menggubris isu – isu yang berkembang, karena engkau tidak diperintahkan untuk mengikutinya. Hal itu di luar batas kemampuanmu.”
Jika orang ini menunjukan kepandaianya seraya mengatakan :” saya sudah tahu,” yakni tahu dari Al quran, hanya saja aku tidak tahu dengan pasti bahwa ia sudah mengetahui tentang zat Allah atau ilmu tambahanya, dimana dalam persoalan tersebut sekte Asy ‘ariyah dan Mu’tajilah berbeda pendapat, maka dengan hal itu orang ini sudah keluar dari batasan awam. Sebab, yang namanya orang awam, hatinya tidak akan menoleh hal – hal seperti ini. Itupun selama ia tidak digerakan oleh setan untuk berdebat. Allah tidak akan membinasakan suatu kaum, kecuali bila perdebatan telah menjadi budaya mereka. Begitulah yang diterangkan dalam sebuah hadits.
Jika orang yang keluar dari batasan awam menggabungkan diri dengan ahli debat, maka terapi yang aku berikan kepada mereka adalah petuah yang aku sampaikan daalam masalah ushul, yaitu menggiring mereka kepada kitab Allah. Allah SWT telah menurunkan kitab, timbangan dan besi. Mereka inilah orang – orang yang harus digiring kepada kitab.
Sementara dalam masalah furu’ ; aku katakana kepada orang awam :” Jangan sibukkan hatimu dengan masalah – masalah khilafiyah ( perbedaan pendapat ), selama engkau belum menyelesaikan semua hal yang desepakati. Para Ulama telah sepakat bahwa bekal akhirat adalah takwa dan wara’ ( berpantang ). Usaha yang haram, harta yang haram, menggunjing, mengadu domba, berzina, mencuri, berkhianat, dan larangan – larangan lainya adalah haram. Dan semua kewajiban adalah wajib. Apabila engkau telah menyelesaikan semua ini, aku akan mengajarimu cara membebaskan diri dari perbedaan pendapat.” Jika ia memintaku untuk mengajarkan jalan tersebut sebelum menyelesaikan semua yang disepakati itu, berarti ia adalah seorang pendebat, bukanya orang awam. Bilakah orang awam menyelesaikan semua yang desepakati hingga bisa beralih kepada masalah – masalah perbedaan?
Apakah menurutmu sebelum menceburkan diri ke dalam perbedaan pendapat kawan – kawanmu telah menyelesaikan semua yang desepakati terlebih dahulu ? sepertinya tidak. Kelemahan akal mereka dalam berbeda pendapat tak ubahnya seperti akal orang yang menderita penyakit yang menyebabkan kematian. Sebenarnya bagi si sakit ini ada terapi pengobatan yang disepakati oleh para dokter. Akan tetapi, ia malah berkata :” Para Dokter telah berbeda pendapat dalam beberapa resep obat, apakah obat untukku harus panas ataukah dingin ? Mungkin suatu hari aku membutuhkanya. Namun untuk sementara ini aku tidak akan mengobati diriku, sampai aku menemukan orang yang bisa mengajariku menghilangkan perbedaan pendapat itu.”
Jika aku melihat orang saleh telah merampungkan seluruh batasan – batasan takwa, lalu ia berkata :” Inilah aku ! Aku menemukan beberapa masalah yang sulit. Aku tidak tahu apakah dengan bersentuhan, muntah, dan mimisan harus wudhu lagi atau tidak ? Aku tidak tahu apakah niat puasa pada bulan ramadhan itu dilakukan pada malam hari ataukah siang hari ? dan lain sebagainya.” Maka akan aku katakana kepadanya :” jika engkau ingin aman dalam menempuh jalan menuju akhirat, maka tempuhlah jalan kehati – hatian. Ambillah semua hal yang disepakati. Berwudhulah dari semua hal yang membatalkan yang diperdebatkan, karena ulama yang tidak mewajibkan untuk berwudhu karena hal – hal tersebut, biasanya akan menyunahkanya. Dan niatlah untuk puasa ramadhan di malam hari, karena ulama yang tidak mewajibkan niat di malam hari, biasanya menyunahkanya.” Jika kemudian ia berkata :” Itu dia, hal yang berat bagiku adalah berhati – hati ketika aku menghadapi persoalan – persoalan yang berkutat antara penyangkalan dan penetapan. Aku tidak tahu, apakah pada waktu shalat shubuh harus qunut atau tidak, aku juga tidak tahu apakah membaca bismillah itu harus kencang ataukah pelan ?” Aku katakana padanya:” Sekarang berijtihadlah sendiri, lihat para imam mazhab, mana diantara mereka yang menurutmu lebih utama dan menurut hatimu fatwa – fatwanya lebih benar, sebagaimana ketika engkau sakit dan di tempatmu banyak dokter. Engkau tentu memilih salah seorang dari mereka berdasarkan ijtihadmu, bukan berdasarkan dorongan hawa nafsu dan tabiatmu. Begitulah seharusnya dalam menyelesaikan urusan agamamu. Barang siapa menurut perkiraanmu lebih utama, ikutilah ia.” Jika pendapatnya benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan jika salah, maka ia tetap mendapatkan satu pahala di sisi Allah. Begitulah yang disampaikan Rasulullah SAW beliau bersabda,” Barang siapa berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala.”
Allah mengembalikan segala urusan kepada ahli ijtihad. Untuk mengajarkan hal ini, Allah Ta’ala berfirman : Tentulah orang – orang yang ingin mengetahui kebenaranya ( akan dapat ) mengetahuinya dari mereka (QS 4 : 83 ). Ijtihad dipersilahkan kepada ahlinya dimana Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz,” Dengan apa engkau menghukumi ? “ Muadz menjawab, “ Dengan kitab Allah.” Rasulullah, “ Jika tidak engkau temukan jawabanya di kitab Allah ? Muadz,” Dengan sunah Rasulullah SAW.” Rasulullah,” Jika tidak engkau temukan jawabanya dalam sunnah Rasulullah SAW ?” Muadz, “ Aku akan berijtihad sendiri.” Muadz mengatakan berijtihad sebelum Rasulullah SAW memerintahkanya dan beliaupun mengizinkanya. Rasulullah SAW bersabda,” Segala puji bagi Allah Yang telah member taufik kepada utusan Rasulullah untuk melakukan sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah. “ Dari hadits ini dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW mengijinkan ijtihad kepada Muadz dan juga kepada yang lainya. Generalisasi ini sama dengan sabda Rasulullah SAW ketika orang badui Arab mengtakan, “ Aku telah celaka dan mencelakakan. Aku telah menggauli istriku pada siang hari di bulan Ramadhan. “ mendengar pengaduan itu, Rasulullah SAW bersabda, “ Merdekakanlah seorang budak !” ketentuan ini juga berlaku jika orang Turki atau orang India yang melakukanya. Mereka juga harus memerdekakan seorang budak.
Orang yang berijtihad akan mendapat kanpahala seperti diterangkan di atas, karena manusia tidak dibebankan harus benar sesuai dengan kebenaran menurut Allah. Itu di luar batas kemampuan manusia. Allah tidak akan membebankan sesuatu di luar batas kemampuan. Manusia hanya dibebankan harus benar menurut perkiraan mereka. Sebagai contoh, manusia tidak dibebani untuk shalat dengan baju yang benar – benar suci, melainkan hanya dengan baju yang menurut mereka suci. Jika kemudian mereka ingat bahwa baju itu najis, maka mereka tidak harus mengulang shalatnya. Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mencopot sandalnya sewaktu shalat tatkala Jibril memberitahukan bahwa di sandalnya ada kotoran. Beliau tidak mengulang shalatnya dari awal, melainkan terus melanjutkan. Demikian juga manusia tidak dibebani untuk shalat benar – benar menghadap kiblat, tetapi kea rah yang menurutnya adalah kiblat dengan berpedoman pada gunung, bintang, matahari, atau yang lainya. Jika benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah ia mendapat satu pahala. Manusia tidak dibebani harus menunaikan zakat kepada orang yang benar – benar fakir, melainkan kepada orang yang menurut perkiraan mereka fakir. Karena mereka tidak akan tahu siapa sebetulnya yang fakir itu. Para hakim, ketika menghadapi masalah pembunuhan dan perkosaan, tidak dibebani harus menghadirkan saksi yang benar – benar jujur, melainkan orang yang menurut perkiraan mereka jujur. Jika dalam masalah pembunuhan saja boleh menggunakan perkiraan, lalu mengapa shalat tidak boleh didasarkan pada perkiraan akan benarnya petunjuk yang dipakai dalam dalam berijtihadnya. Sangat menggelikan sekali apa yang dikatakan oleh kawan – kawanmu dalam masalah ini. Kawan – kawanmu mengatakan, “ Bila seseorang bingung mengenai arah kiblat, hendaknya ia mengakhirkan shalat sampai ia pergi menemui imam yang maksum untuk menanyakan hal tersebut, memintanya menunjukan yang benar, atau mengatakan kepadanya. ‘ Berijtihadlah untuk orang yang tidak bisa berijtihad dalam menentukan arah kiblat dengan cara berpedoman dengan bintang – bintang, gunung – gunung atau angin !”
Ia : Menurut keyakinanku, orang tersebut diizinkan untuk berijtihad. Jika ia telah mengerahkan segenap kemampuanya, ia tidak akan berdosa, sekalipun ijtihadnya salah atau shalat tidak menghadap kiblat.
Aku : Jika orang yang salah dalam menentukan arah kiblat saja dimaafkan dan diberi pahala, tentu orang yang salah dalam ijtihad – ijtihad lain pun dimaafkan. Semua mujtahid dan orang – orang yang bertaqlid kepada mereka akan dimaafkan. Sebagian diantara mereka ada yang mencapai kebenaran sesuai dengan kebenaran menurut Allah, berarti mendapat dua pahala, dan sebagian lagi hanya bisa mencapai kebenaran yang membuatnya hanya mendapat satu pahala saja. Kedudukan mereka tidak jauh beda. Mereka tidak perlu saling bertentangan atau jatuh menjatuhkan satu sama lain. Terutama, karena siapa yang sebenarnya benar tidak dapat diketahui. Masing – masing diantara mereka pasti mengira dirinya benar. Sebagai contoh, dua orang musafir berijtihad dalam menentukan arah kiblat, ternyata hasil ijtihad mereka berbeda. Masing – masing diantara mereka berhak shalat menghadap ke arah yang menurut perkiraanya. Ia tidak perlu mengingkari atau mendebat rekanya. Sebab, mereka hanya dibebani untuk mengamalkan apa yang dihasilkan oleh perkiraan masing – masing. Dan menghadap kiblat yang benar – benar pas sesuai dengan yang pas menurut Allah tidak akan bisa dilakukan.

Begitulah ketika Muadz berada di Yaman. Ia berijtihad bukan atas dasar keyakinan bahwa ia tidak akan mungkin salah. Akan tetapi, atas dasar keyakinan bahwa jika ia salah, pasti mendapatkan ampunan. Sebab, dalam masalah – masalah syariat, yang dipersepsikan telah mengalami perubahan dalam syariat – syariat terdahulu, sangat rentan munculnya sesuatu yang bertentangan dengan hasil perkiraan semula. Adapun dalam masalah yang tidak mengalami perubahan, pasti disana tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Esensi pasal ini bisa engkau ketahui lebih jelas dalam pembahasan Asrar Ittiba Al sunnah ( Rahasia – rahasia mengikuti sunnah ) yang aku paparkan dalam pasal ke sepuluh bab al a’mal al thahirah ( amalan – amalan yang suci ) dari kitab jawahirul quran.
Kelompok Ketiga, adalah ahli debat. Aku akan menyeru mereka kepada kebenaran dengan kelembutan. Yang aku maksud kelembutan di sini adalah aku tidak akan bersitegang atau mencela mereka, tetapi aku akan memperlihatkan sikap bersahabat dan mendebat mereka dengan cara yang paling baik. Demikianlah Allah SWT memerintahkan kepada Rasul – Nya. Makna berdebat dengan cara yang lebih baik adalah aku akan mengemukakan premis – premis yang diterima oleh pendebat, dan dari sana aku akan menyimpulkan sebuah kebenaran dengan menggunakan timbangan yang kokoh sesuai dengan cara yang aku paparkan dalam buku al iqtishad fi al I’tiqod, hingga bisa sampai pada batas tersebut. Jika pendebat belum merasa puas, karena kecerdasanya menuntut untuk manguak lebih lanjut, maka aku akan membawanya naik ke pengajaran timbangan – timbangan. Jika belum puas juga, karena kebodohan, fanatisme, dan rasa permusuhanya, maka aku akan meladeninya dengan besi ( kekerasan ). Allah SWT menjadikan besi dan timbangan sebagai dua rekan Al kitab agar dipahami bahwa semua makhluk tidak akan bisa menegakan keadilan, kecuali dengan ketiga perangkat ini. Kitab diperuntukan meladeni orang awam. Timbangan diperuntukan meladeni orang khawas. Dan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat, diperuntukan meladeni orang – orang mangikuti sebagian ayat – ayat dari kitab yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari – cari takwilnya. Mereka tidak tahu bahwa yang demikian itu merupakan karakteristik mereka. Mereka pun tidak tahu bahwa yang mengetahui takwilnya hanyalah Allah dan orang – orang yang mendalam ilmunya. Ahli debat tidak termasuk kelompok orang – orang yang mendalam ilmunya. Yang aku maksud dengan ahli debat adalah kelompok yang memiliki kecerdasan setingkat di atas orang – orang awam, tetapi kecerdasan mereka masih kurang. Meski fitrah mereka sempurna, batin mereka memendam kebusukan, pertentangan, fanatisme, dan taklid. Itulah yang menghalangi mereka untuk mengetahui kebenaran. Sifat – sifat busuk tersebut menjadi penutup hati dan penyumbat telinga mereka, sehingga mereka tidak memahami kebenaran. Yang membinasakan mereka adalah kekurang cerdasan mereka. Kecerdasan dan kepintaran yang tidak sempurna jauh lebih berbahaya daripada kebodohan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa sebagian besar penduduk surga adalah orang – orang bodoh, dan surga – surga tertinggi ( illiyin ) diperuntukan bagi mereka yang mempunyai akal. Selain dua golongan ini adalah orang – orang yang suka memperdebatkan ayat – ayat Allah. Mereka adalah para penghuni neraka.
Kepada orang yang tidak mempan dengan Al quran, Allah menghadapinya dengan kekuatan. Orang – orang tersebut harus dicegah dari perdebatan dengan pedang dan mulut, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘Umar RA ketika menghadapi seorang laki – laki yang bertanya kepadanya perihal dua ayat mutasyabihat dalam kitab Allah. beliau langsung memukulinya bertubi – tubi dengan kantong kelenjar susu hewan. Demikian juga, ketika imam malik ditanya tentang bersemayam di atas arsy  ( istiwa ‘ala al arsy ), ia menjawab, istiwa adalah sebuah kebenaran : mengimaninya adalah sebuah kewajiban; caranya bagaimana tidak bisa diketahui; dan mempertanyakanya adalah sesuatu yang mengada – ada ( bid’ah ).” Dengan cara seperti itu. Imam Malik menutup pintu perdebatan. Seperti itulah yang dilakukan oleh semua ulama salaf. Membuka pintu perdebatan berarti mengundang bahaya besar bagi hamba – hamba Alalh.
Demikianlah caraku dalam menyeru manusia kepada kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kabut gelap kesesatan menuju sinar terang kebenaran. Menyerukan hikmah kepada orang khawas adalah dengan mengajarkan timbangan. Jika ia sudah tahu timbangan yang benar, maka dengan timbangan itu ia tidak hanya akan mampu menimbang satu disiplin ilmu saja, melainkan berbagai ilmu. Orang yang memiliki timbangan akan mengetahui ukuran – ukuran berbagai barang yang tidak terhitung jumlahnya. Demikian juga orang yang memiliki timbangan yang benar ( qisthas al mustsqim ), niscaya ia akan memiliki hikmah. Barang siapa dianugerahi hikmah, maka sesungguhnya ia benar – benar telah dianugerahi karunia yang banyak tanpa ada akhirnya. Seandainya Al quran tidak mengandung timbangan – timbangan, maka ia tidak sah untuk disebut cahaya. Sebab, yang disebut cahaya adalah sesuatu yang bisa menerangi dirinya juga bisa digunakan oleh seseorang untuk menerangi yang lain, yang mana itu juga merupakan sifat timbangan, dan berarti firman Allah “ Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” ( QS 6 : 59 ) adalah tidak benar. Sebab, semua disiplin ilmu tidak dijelaskan di dalam Al quran secara jelas, tetapi di sana ada potensinya, karena di dalam Alquran ada timbangan – timbangan yang benar yang bisa dipakai untuk membuka pintu – pintu hikmah yang tiada terbatas. Dengan timbangan inilah aku menyeru orang – orang khawas. Sementara kepada orang orang awam aku menyeru dengan petuah yang baik dengan menggiring mereka kepada Al kitab dan membatasi diri dengan sifat – sifat Allah SWT  yang ada di dalamnya. Dan kepada ahli debat, aku menyeru mereka dengan perdebatan yang lebih baik. Jika ia tetap nyeleneh, maka aku hentikan perdebatan itu dan akan kucegah kejelekanya dengan kekuatan dan besi yang diturunkan bersama timbangan.
Wahai kawanku ! Coba sekarang kemukakan, dengan apa imamu menangani ketiga kelompok ini ? Apakah ia mengajari orang – orang awam, membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami dan menentang Rasulullah SAW ? ataukah dengan mencuci otak orang – orang suka berdebat dengan cara beradu argumentasi supaya tidak berdebat lagi, padahal Rasulullah SAW sendiri tidak mampu melakukanya, meski telah dibekali dengan beragam hujjah dari Allah dalam Al quran untuk menghadapi orang – orang kafir ? Jika benar ia bisa melakukanya, begitu besar kekuatan imamu, karena telah menjadi lebih berkuasa daripada Allah SWT dan Rasul-Nya; ataukah ia menyeru ahl al bashirah ( orang – orang cerdik pandai ) untuk mentaklidinya, padahal mereka adalah orang – orang yang tidak mau menerima sabda Rasulullah SAW bila hanya dengan bertaklid dan tidak merasa puas dengan diubahnya tongkat menjadi ular. Bahkan, mereka mengatainya sebagai perbuatan yang aneh. Dari mana dasarnya bahwa dengan menunjukan hal seperti itu berarti si pelakunya adalah orang yang benar ? sementara itu di alam ini banyak sekali keanehan – keanehan sihir dan mantera yang bisa membingungkan akal. Orang yang dapat membedakan antara mukjizat dan sihir hanyalah orang yang mengetahui kedua – duanya dan aneka ragam bentuknya, sehingga mengetahui mana sihir mana mukjizat Musa AS, karena mereka para pakar sihir. Lalu, siapakah orangnya yang mempunyai kemampuan seperti ini ?
Untuk bisa mempercayai orang yang memperlihatkan mukjizat, selain dengan melihat mukjizat, ahl bashirah selalu ingin mengetahui kebenaran orang tersebut dari kata – katanya, sebagaimana orang yang belajar ilmu hitung akan mengetahui kebenaran gurunya dalam pengakuanya sebagai ahli hitung – menghitung bila ia melihat gurunya menghitung. Inilah pengetahuan yang meyakinkan yang bisa memberi kepuasan bagi ulul albab dan ahl bashirah ( cerdik pandai yang memiliki mata hati ). Mereka sama sekali tidak akan puas dengan dengan selain itu. Jika mereka mengetahui Rasulullah  SAW dan Al quran dengan jalan seperti itu, baru mereka akan mempercayai kebenaran Rasulullah SAW dan Alquran. Bila mereka sudah mempercayai kebenaran Alquran, pasti mereka memahami timbangan – timbanganya, seperti yang telah aku paparkan kepadamu, dan mengambil kunci semua ilmu berikut timbangan – timbanganya, sebagaimana yang aku paparkan dalam kitab Jawahir al Quran. Kalau sudah begitu, mungkinkah mereka membutuhkan imammu yang maksum ?
Sebenarnya, kesulitan apa dalam agama yang pernah dipecahkan oleh imamu ? Dan hal – hal samar apa yang pernah ia singkapkan ? Allah Ta’ala berfirman : Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan – sembahan (mu) selain Allah (QS 31:11).
Engkau sudah mendengar metodaku dalam timbangan – timbangan ilmu. Sekarang coba perlihatkan kepadaku apa saja yang telah engkau dapatkan sampai saat ini dari imamu tentang kepelikan – kepelikan ilmu ? Apa yang bisa kaum cerdik pandai pelajari darinya ? coba perlihatkan kepadaku apa yang telah engkau pelajari dari imamu ! aku belum melihatnya :
Sekarang hati sang pencinta menjauh. Apa yang di dapat dulu, sekarang hancur. Dulu memang ia tahu, tapi hakikat yang sebenarnya belum tercapai. Tujuan undangan menghadiri jamuan makan bukan sekedar mengundang saja, tetapi untuk makan – makan dan menyantapnya. Aku lihat kalian mengajak orang – orang untuk mengikuti imam. Lalu, aku lihat orang – orang yang menyambut ajakan tersebut, ternyata setelah menyambutnya masih saja tetap bodoh seperti sebelumnya. Imammu belum mengurai belenggu yang mencengkeram mereka. Bahkan, mungkin saja ia membelenggukan kembali belenggu yang telah terurai. Penyambutan mereka kepada imammu tidak memberi mereka tambahan pengetahuan, bahkan mungkin membuatnya tambah menyimpang dan bodoh.
Ia : Aku telah lama bersahabat dengan kawan – kawanku, tetapi aku tidak pernah mendapatkan ilmu apapun dari mereka, selain yang mereka katakana,” Hendaklah engkau berpegang pada mazhab pengajaran. Hindarilah penalaran dan analogi, karena itu merupakan biang pertentangan dan perbedaan pendapat.”
Aku : Aneh sekali kalau mereka menyerukan pengajaran ( ta’lim ), tetapi mereka sendiri tidak melakukanya. Katakana kepada mereka,” kalian telah mengajaku untuk masuk mazhab pengajaran. Aku sambut ajakan kalian. Karena itu ajarkanlah kepadaku apa yang ada pada kalian.”
Ia : Sepengetahuanku selain perkataan tadi, mereka tidak pernah memberikan tambahan apapun kepadaku.
Aku : Sebenarnya aku pun menyerukan pentingnya pengajaran, imam, dan batalnya penalaran ( ra’yu ) dan analogi ( qiyas ). Seandainya engkau bisa meninggalkan taklid. Aku akan mengajarkan hal yang lebih banyak lagi kepadamu, yaitu ilmu – ilmu yang aneh dan rahasia – rahasia Al quran. Akan ku keluarkan untukmu kunci semua ilmu dari Al quran, sebagaimana aku telah mengeluarkan timbangan – timbangan ilmu, seperti yang kutunjukan dalam kitab Jawahir al Quran. Hanya saja, aku tidak menyeru untuk mengikuti imam manapun, kecuali Muhammad SAW aku juga tidak menyerukan  untuk mengikuti kitab manapun, kecuali Al quran. Dari sanalah aku mengeluarkan seluruh rahasia – rahasia ilmu. Buktiku akan hal itu adalah lisan dan penjelasanku. Jika engkau meragukanku, uji saja ! Kemudian engkau nilai, mana yang lebih baik, belajar dariku ataukah dari kawan – kawanmu ?

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...