Aku : Hendaknya mereka mendengarkanku.
Aku akan melenyapkan perbedaan di antara mereka dengan kitab Allah. Sayangnya
tidak ada cara yang membuat mereka mau mendengar. Para Nabi dan Imam engkau pun
tidak mereka dengar, bagaimana mungkin mereka mau mendengarkanku ? bagaimana
mungkin mereka mau berkumpul untuk mendengarkanku, sementara di azali sudah ada
ketetapan bahwa mereka akan senantiasa berbeda pendapat, kecuali orang yang
dikasihi oleh Tuhanmu, dan untuk itulah mereka diciptakan ? Perbedaan di antara
mereka tidak akan bisa terelakan. Hal ini bisa engkau ketahui dalam kitab Jawab
Mufashshal Al khilaf yang berisikan 12 pasal.
Ia : Seandainya saja mereka mau mendengar, apa yang akan anda perbuat ?
Ia : Seandainya saja mereka mau mendengar, apa yang akan anda perbuat ?
Aku : Aku akan memperlakukan mereka
dengan sebuah ayat dari kitab Allah, dimana Dia berfirman :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul
– rasul kami dengan membawa bukti – bukti yang nyata dan telah kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan Neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, ( supaya mereka mempergunakan besi itu ) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong ( agama ) Nya dan rasul – rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa
( QS 57 : 25 )
Menurut ayat ini, manusia terdiri dari
tiga kelompok. Kitab, besi, dan timbangan adalah terapi bagi tiap – tiap
kelompok itu.
Ia : Siapa mereka dan bagaimana cara
menyembuhkan mereka ?
Aku : Manusia terdiri dari tiga
kelompok : pertama, kelompok
awam. Mereka adalah ahli keselamatan yang bodoh dan merupakan ahli surge; kedua, kelompok
khawas. Mereka adalah orang – orang cerdik pandai dan mempunyai mata hati. Dari
sebagian kelompok ini kemudian terlahir kelompok ketiga, yaitu kelompok ahli debat dan para
pemicu keonaran. Mereka mengikuti sebagian ayat – ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah.
Kelompok pertama, orang –
orang khawas. Aku akan menangani kelompok ini dengan mengajari mereka timbangan
– timbangan keadilan dan cara menggunakanya, sehingga perbedaan yang terjadi di
antara mereka dalamtempo yang tidak begitu lama bisa dihilangkan. Mereka
merupakan kaum yang memiliki 3 karakteristik : pertama, watak yang gigih dan kecerdasan yang
kuat. Ini merupakan anugerah dan dan insting bawaan yang tidak bisa didapat
dengan diusahakan; kedua, hati mereka kosong dari taqlid dan fanatisme
kepada mazhab warisan atau yang mereka dengar. Orang yang taqlid biasanya tidak
mau mendengar. Meski mau mendengar, orang bodoh ini tidak akan paham; dan ketiga, meyakini
bahwa aku adalah salah seorang pakar timbangan. Orang yang tidak percaya bahwa
engkau mengetahui ilmu hitung, tidak mungkin belajar berhitung kepadamu.
Kelompok Kedua, orang – orang
awam.mereka adalah kalangan umum yang tidak memiliki kecerdasan untuk memahami
berbagai hakikat. Meski mereka mempunyai kecerdasan bawaan ( fathanah Fithriyah
), mereka tidak mempunyai motifasi untuk mencari tahu. Mereka disibukan dengan
pekerjaan dan profesi. Mereka juga tidak memiliki motivasi untuk berdebat,
berbeda dengan kaum intelektual. Selain itu, mereka pun tidak dapat
memahaminya. Mereka memang tidak berbeda pendapat, tetapi mereka memilih
panutan di antara imam yang berbeda pendapat.
Menghadapi sekelompok ini, aku akan
mengajak mereka kembali kepada Allah dengan petuah, sebagaimana aku menyeru
orang – orang yang memiliki mata hati dengan hikmah dan mengajak ahli debat
dengan perdebatan ( mujadalah ). Allah SWT telah mengumpulkan ketiga kelompok
ini dalam satu ayat seperti yang telah aku bacakan tadi kepadamu.
Aku akan mengatakan kepada orang –
orang awam ini apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada seorang badui arabi
yang menghadap kepadanya. Badui itu berkata kepadanya :” ajari aku ilmu – ilmu
yang aneh ( gharib al ilm ) !” Rasulullah SAW yakin bahwa badui itu masih belum
pantas mendapatkanya, karenanya beliau bersabda, “ Apa yang telah kamu amalkan
dalam pangkal ilmu ( iman, taqwa, dan persiapan – persiapan untuk akhirat ) ?
pergi dan mantapkanlah dulu pangkal ilmu. Jika sudah mantap, kembali lagi kesini, akan kuajari
kamu keanehan – keanehanya !”
Akan aku katakan kepada orang yang
awam :” Menceburkan diri ke dalam perbedaan pendapat bukanlah kehidupanmu.
Lakukanlah apa yang sesuai kehidupanmu. Awas ! Engkau jangan sampai menceburkan
diri ke dalamnya atau menyimaknya, niscaya engkau akan binasa. Jika engkau
menghabiskan umurmu dalam pekerjaan pengemasan, engkau tidak akan bisa menjadi
ahli rajut. Engkau telah menghabiskan umurmu bukan dalam kegiatan ilmiah,
bagaimana mungkin engkau menjadi ahli ilmu dan berkecimpung di dalamnya. Awas
hati – hati, jangan sampai membinasakan dirimu !, “ bagi orang awam, melakukan
sebuah dosa besar lebih ringan hukumanya daripada berkecimpung dalam ilmu, karena
hal itu bisa mengakibatkanya menjadi kufur, sementara ia tidak menyadarinya.
Jika orang awam itu berkata :” Harus
ada agama yang aku yakini dan aku amalkan agar bisa menggapai ampunan. Orang –
orang terkotak – kotak ke dalam berbagai agama. Lalu agama mana yang Anda
anjurkan untuk aku anut ?” Akan aku katakan kepadanya : “Agama mempunyai ushul ( aspek –
aspek prinsipil ) dan furu’ ( aspek – aspek cabang ). Dalam keduanya sama
– sama terjadi perbedaan pendapat. Untuk masalah ushul, engkau harus meyakini apa yang ada
dalam Al quran saja. Allah SWT tidak menutup – nutupi sifat dan nama – nama-Nya
kepada para hamba-Nya. Engkau harus yakin bahwasanya tiada Tuhan selain Allah,
Dia Maha Hidup, Maha tahu, Maha kuasa, Maha mendengar, Maha melihat, Maha
perkasa, Maha memiliki keagungan, Mahasuci, tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai – Nya, hingga meyakini semua sifat yang tertera dalam Al quran dan
disepakati oleh seluruh ulama. Itu sudah cukup dalam keabsahan beragama. Jika
engkau menemukan sesuatu yang rancu, katakana saja : ‘Aku mengimani semua yang
datang dari Tuhanku !’ yakinilah semua keterangan yang menerangkan penetapan
dan penyangkalan sifat – sifat Allah dengan penghormatan dan penyucian, serta
menyangkal adanya keserupaan dengan meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan-Nya. Setelah itu, jangan menggubris isu – isu yang berkembang,
karena engkau tidak diperintahkan untuk mengikutinya. Hal itu di luar batas
kemampuanmu.”
Jika orang ini menunjukan kepandaianya
seraya mengatakan :” saya sudah tahu,” yakni tahu dari Al quran, hanya saja aku
tidak tahu dengan pasti bahwa ia sudah mengetahui tentang zat Allah atau ilmu
tambahanya, dimana dalam persoalan tersebut sekte Asy ‘ariyah dan Mu’tajilah
berbeda pendapat, maka dengan hal itu orang ini sudah keluar dari batasan awam.
Sebab, yang namanya orang awam, hatinya tidak akan menoleh hal – hal seperti
ini. Itupun selama ia tidak digerakan oleh setan untuk berdebat. Allah tidak
akan membinasakan suatu kaum, kecuali bila perdebatan telah menjadi budaya
mereka. Begitulah yang diterangkan dalam sebuah hadits.
Jika orang yang keluar dari batasan
awam menggabungkan diri dengan ahli debat, maka terapi yang aku berikan kepada
mereka adalah petuah yang aku sampaikan daalam masalah ushul, yaitu menggiring
mereka kepada kitab Allah. Allah SWT telah menurunkan kitab, timbangan dan
besi. Mereka inilah orang – orang yang harus digiring kepada kitab.
Sementara dalam masalah furu’ ; aku
katakana kepada orang awam :” Jangan sibukkan hatimu dengan masalah – masalah
khilafiyah ( perbedaan pendapat ), selama engkau belum menyelesaikan semua hal
yang desepakati. Para Ulama telah sepakat bahwa bekal akhirat adalah takwa dan
wara’ ( berpantang ). Usaha yang haram, harta yang haram, menggunjing, mengadu
domba, berzina, mencuri, berkhianat, dan larangan – larangan lainya adalah
haram. Dan semua kewajiban adalah wajib. Apabila engkau telah menyelesaikan
semua ini, aku akan mengajarimu cara membebaskan diri dari perbedaan pendapat.”
Jika ia memintaku untuk mengajarkan jalan tersebut sebelum menyelesaikan semua
yang disepakati itu, berarti ia adalah seorang pendebat, bukanya orang awam.
Bilakah orang awam menyelesaikan semua yang desepakati hingga bisa beralih
kepada masalah – masalah perbedaan?
Apakah menurutmu sebelum menceburkan
diri ke dalam perbedaan pendapat kawan – kawanmu telah menyelesaikan semua yang
desepakati terlebih dahulu ? sepertinya tidak. Kelemahan akal mereka dalam
berbeda pendapat tak ubahnya seperti akal orang yang menderita penyakit yang menyebabkan
kematian. Sebenarnya bagi si sakit ini ada terapi pengobatan yang disepakati
oleh para dokter. Akan tetapi, ia malah berkata :” Para Dokter telah berbeda
pendapat dalam beberapa resep obat, apakah obat untukku harus panas ataukah
dingin ? Mungkin suatu hari aku membutuhkanya. Namun untuk sementara ini aku
tidak akan mengobati diriku, sampai aku menemukan orang yang bisa mengajariku
menghilangkan perbedaan pendapat itu.”
Jika aku melihat orang saleh telah
merampungkan seluruh batasan – batasan takwa, lalu ia berkata :” Inilah aku !
Aku menemukan beberapa masalah yang sulit. Aku tidak tahu apakah dengan
bersentuhan, muntah, dan mimisan harus wudhu lagi atau tidak ? Aku tidak tahu
apakah niat puasa pada bulan ramadhan itu dilakukan pada malam hari ataukah
siang hari ? dan lain sebagainya.” Maka akan aku katakana kepadanya :” jika
engkau ingin aman dalam menempuh jalan menuju akhirat, maka tempuhlah jalan
kehati – hatian. Ambillah semua hal yang disepakati. Berwudhulah dari semua hal
yang membatalkan yang diperdebatkan, karena ulama yang tidak mewajibkan untuk
berwudhu karena hal – hal tersebut, biasanya akan menyunahkanya. Dan niatlah
untuk puasa ramadhan di malam hari, karena ulama yang tidak mewajibkan niat di
malam hari, biasanya menyunahkanya.” Jika kemudian ia berkata :” Itu dia, hal
yang berat bagiku adalah berhati – hati ketika aku menghadapi persoalan –
persoalan yang berkutat antara penyangkalan dan penetapan. Aku tidak tahu,
apakah pada waktu shalat shubuh harus qunut atau tidak, aku juga tidak tahu
apakah membaca bismillah itu harus kencang ataukah pelan ?” Aku katakana
padanya:” Sekarang berijtihadlah sendiri, lihat para imam mazhab, mana diantara
mereka yang menurutmu lebih utama dan menurut hatimu fatwa – fatwanya lebih
benar, sebagaimana ketika engkau sakit dan di tempatmu banyak dokter. Engkau
tentu memilih salah seorang dari mereka berdasarkan ijtihadmu, bukan
berdasarkan dorongan hawa nafsu dan tabiatmu. Begitulah seharusnya dalam
menyelesaikan urusan agamamu. Barang siapa menurut perkiraanmu lebih utama,
ikutilah ia.” Jika pendapatnya benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan jika
salah, maka ia tetap mendapatkan satu pahala di sisi Allah. Begitulah yang
disampaikan Rasulullah SAW beliau bersabda,” Barang siapa berijtihad dan
ternyata ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala.”
Allah mengembalikan segala urusan
kepada ahli ijtihad. Untuk mengajarkan hal ini, Allah Ta’ala berfirman :
Tentulah orang – orang yang ingin mengetahui kebenaranya ( akan dapat )
mengetahuinya dari mereka (QS 4 : 83 ). Ijtihad dipersilahkan kepada ahlinya
dimana Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz,” Dengan apa engkau menghukumi ? “
Muadz menjawab, “ Dengan kitab Allah.” Rasulullah, “ Jika tidak engkau temukan
jawabanya di kitab Allah ? Muadz,” Dengan sunah Rasulullah SAW.” Rasulullah,”
Jika tidak engkau temukan jawabanya dalam sunnah Rasulullah SAW ?” Muadz, “ Aku
akan berijtihad sendiri.” Muadz mengatakan berijtihad sebelum Rasulullah SAW
memerintahkanya dan beliaupun mengizinkanya. Rasulullah SAW bersabda,” Segala
puji bagi Allah Yang telah member taufik kepada utusan Rasulullah untuk
melakukan sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah. “ Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa Rasulullah SAW mengijinkan ijtihad kepada Muadz dan juga kepada
yang lainya. Generalisasi ini sama dengan sabda Rasulullah SAW ketika orang
badui Arab mengtakan, “ Aku telah celaka dan mencelakakan. Aku telah menggauli
istriku pada siang hari di bulan Ramadhan. “ mendengar pengaduan itu,
Rasulullah SAW bersabda, “ Merdekakanlah seorang budak !” ketentuan ini juga
berlaku jika orang Turki atau orang India yang melakukanya. Mereka juga harus
memerdekakan seorang budak.
Orang yang berijtihad akan
mendapat kanpahala seperti diterangkan di atas, karena manusia tidak dibebankan
harus benar sesuai dengan kebenaran menurut Allah. Itu di luar batas kemampuan
manusia. Allah tidak akan membebankan sesuatu di luar batas kemampuan. Manusia
hanya dibebankan harus benar menurut perkiraan mereka. Sebagai contoh, manusia
tidak dibebani untuk shalat dengan baju yang benar – benar suci, melainkan
hanya dengan baju yang menurut mereka suci. Jika kemudian mereka ingat bahwa
baju itu najis, maka mereka tidak harus mengulang shalatnya. Pada suatu ketika,
Rasulullah SAW mencopot sandalnya sewaktu shalat tatkala Jibril memberitahukan
bahwa di sandalnya ada kotoran. Beliau tidak mengulang shalatnya dari awal,
melainkan terus melanjutkan. Demikian juga manusia tidak dibebani untuk shalat
benar – benar menghadap kiblat, tetapi kea rah yang menurutnya adalah kiblat
dengan berpedoman pada gunung, bintang, matahari, atau yang lainya. Jika benar,
maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah ia mendapat satu pahala. Manusia
tidak dibebani harus menunaikan zakat kepada orang yang benar – benar fakir,
melainkan kepada orang yang menurut perkiraan mereka fakir. Karena mereka tidak
akan tahu siapa sebetulnya yang fakir itu. Para hakim, ketika menghadapi
masalah pembunuhan dan perkosaan, tidak dibebani harus menghadirkan saksi yang
benar – benar jujur, melainkan orang yang menurut perkiraan mereka jujur. Jika
dalam masalah pembunuhan saja boleh menggunakan perkiraan, lalu mengapa shalat
tidak boleh didasarkan pada perkiraan akan benarnya petunjuk yang dipakai dalam
dalam berijtihadnya. Sangat menggelikan sekali apa yang dikatakan oleh kawan – kawanmu
dalam masalah ini. Kawan – kawanmu mengatakan, “ Bila seseorang bingung
mengenai arah kiblat, hendaknya ia mengakhirkan shalat sampai ia pergi menemui
imam yang maksum untuk menanyakan hal tersebut, memintanya menunjukan yang
benar, atau mengatakan kepadanya. ‘ Berijtihadlah untuk orang yang tidak bisa
berijtihad dalam menentukan arah kiblat dengan cara berpedoman dengan bintang –
bintang, gunung – gunung atau angin !”
Ia : Menurut keyakinanku, orang
tersebut diizinkan untuk berijtihad. Jika ia telah mengerahkan segenap
kemampuanya, ia tidak akan berdosa, sekalipun ijtihadnya salah atau shalat
tidak menghadap kiblat.
Aku : Jika orang yang salah dalam
menentukan arah kiblat saja dimaafkan dan diberi pahala, tentu orang yang salah
dalam ijtihad – ijtihad lain pun dimaafkan. Semua mujtahid dan orang – orang
yang bertaqlid kepada mereka akan dimaafkan. Sebagian diantara mereka ada yang
mencapai kebenaran sesuai dengan kebenaran menurut Allah, berarti mendapat dua
pahala, dan sebagian lagi hanya bisa mencapai kebenaran yang membuatnya hanya
mendapat satu pahala saja. Kedudukan mereka tidak jauh beda. Mereka tidak perlu
saling bertentangan atau jatuh menjatuhkan satu sama lain. Terutama, karena
siapa yang sebenarnya benar tidak dapat diketahui. Masing – masing diantara
mereka pasti mengira dirinya benar. Sebagai contoh, dua orang musafir
berijtihad dalam menentukan arah kiblat, ternyata hasil ijtihad mereka berbeda.
Masing – masing diantara mereka berhak shalat menghadap ke arah yang menurut
perkiraanya. Ia tidak perlu mengingkari atau mendebat rekanya. Sebab, mereka
hanya dibebani untuk mengamalkan apa yang dihasilkan oleh perkiraan masing –
masing. Dan menghadap kiblat yang benar – benar pas sesuai dengan yang pas
menurut Allah tidak akan bisa dilakukan.
Begitulah ketika Muadz berada di Yaman. Ia berijtihad bukan atas dasar keyakinan bahwa ia tidak akan mungkin salah. Akan tetapi, atas dasar keyakinan bahwa jika ia salah, pasti mendapatkan ampunan. Sebab, dalam masalah – masalah syariat, yang dipersepsikan telah mengalami perubahan dalam syariat – syariat terdahulu, sangat rentan munculnya sesuatu yang bertentangan dengan hasil perkiraan semula. Adapun dalam masalah yang tidak mengalami perubahan, pasti disana tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Esensi pasal ini bisa engkau ketahui lebih jelas dalam pembahasan Asrar Ittiba Al sunnah ( Rahasia – rahasia mengikuti sunnah ) yang aku paparkan dalam pasal ke sepuluh bab al a’mal al thahirah ( amalan – amalan yang suci ) dari kitab jawahirul quran.
Kelompok Ketiga, adalah
ahli debat. Aku akan menyeru mereka kepada kebenaran dengan kelembutan. Yang
aku maksud kelembutan di sini adalah aku tidak akan bersitegang atau mencela
mereka, tetapi aku akan memperlihatkan sikap bersahabat dan mendebat mereka
dengan cara yang paling baik. Demikianlah Allah SWT memerintahkan kepada Rasul
– Nya. Makna berdebat dengan cara yang lebih baik adalah aku akan mengemukakan
premis – premis yang diterima oleh pendebat, dan dari sana aku akan
menyimpulkan sebuah kebenaran dengan menggunakan timbangan yang kokoh sesuai
dengan cara yang aku paparkan dalam buku al iqtishad fi al I’tiqod, hingga bisa
sampai pada batas tersebut. Jika pendebat belum merasa puas, karena
kecerdasanya menuntut untuk manguak lebih lanjut, maka aku akan membawanya naik
ke pengajaran timbangan – timbangan. Jika belum puas juga, karena kebodohan,
fanatisme, dan rasa permusuhanya, maka aku akan meladeninya dengan besi (
kekerasan ). Allah SWT menjadikan besi dan timbangan sebagai dua rekan Al kitab
agar dipahami bahwa semua makhluk tidak akan bisa menegakan keadilan, kecuali
dengan ketiga perangkat ini. Kitab diperuntukan meladeni orang awam. Timbangan
diperuntukan meladeni orang khawas. Dan besi, yang padanya terdapat kekuatan
yang hebat, diperuntukan meladeni orang – orang mangikuti sebagian ayat – ayat
dari kitab yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari – cari
takwilnya. Mereka tidak tahu bahwa yang demikian itu merupakan karakteristik
mereka. Mereka pun tidak tahu bahwa yang mengetahui takwilnya hanyalah Allah
dan orang – orang yang mendalam ilmunya. Ahli debat tidak termasuk kelompok
orang – orang yang mendalam ilmunya. Yang aku maksud dengan ahli debat adalah
kelompok yang memiliki kecerdasan setingkat di atas orang – orang awam, tetapi
kecerdasan mereka masih kurang. Meski fitrah mereka sempurna, batin mereka
memendam kebusukan, pertentangan, fanatisme, dan taklid. Itulah yang
menghalangi mereka untuk mengetahui kebenaran. Sifat – sifat busuk tersebut
menjadi penutup hati dan penyumbat telinga mereka, sehingga mereka tidak
memahami kebenaran. Yang membinasakan mereka adalah kekurang cerdasan mereka.
Kecerdasan dan kepintaran yang tidak sempurna jauh lebih berbahaya daripada
kebodohan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa sebagian besar penduduk surga
adalah orang – orang bodoh, dan surga – surga tertinggi ( illiyin )
diperuntukan bagi mereka yang mempunyai akal. Selain dua golongan ini adalah
orang – orang yang suka memperdebatkan ayat – ayat Allah. Mereka adalah para
penghuni neraka.
Kepada orang yang tidak mempan dengan
Al quran, Allah menghadapinya dengan kekuatan. Orang – orang tersebut harus
dicegah dari perdebatan dengan pedang dan mulut, sebagaimana telah dilakukan
oleh ‘Umar RA ketika menghadapi seorang laki – laki yang bertanya kepadanya perihal
dua ayat mutasyabihat dalam kitab Allah. beliau langsung memukulinya bertubi –
tubi dengan kantong kelenjar susu hewan. Demikian juga, ketika imam malik
ditanya tentang bersemayam di atas arsy
( istiwa ‘ala al arsy ), ia menjawab, istiwa adalah sebuah kebenaran :
mengimaninya adalah sebuah kewajiban; caranya bagaimana tidak bisa diketahui;
dan mempertanyakanya adalah sesuatu yang mengada – ada ( bid’ah ).” Dengan cara
seperti itu. Imam Malik menutup pintu perdebatan. Seperti itulah yang dilakukan
oleh semua ulama salaf. Membuka pintu perdebatan berarti mengundang bahaya
besar bagi hamba – hamba Alalh.
Demikianlah caraku dalam menyeru
manusia kepada kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kabut gelap kesesatan
menuju sinar terang kebenaran. Menyerukan hikmah kepada orang khawas adalah
dengan mengajarkan timbangan. Jika ia sudah tahu timbangan yang benar, maka
dengan timbangan itu ia tidak hanya akan mampu menimbang satu disiplin ilmu
saja, melainkan berbagai ilmu. Orang yang memiliki timbangan akan mengetahui
ukuran – ukuran berbagai barang yang tidak terhitung jumlahnya. Demikian juga
orang yang memiliki timbangan yang benar ( qisthas al mustsqim ), niscaya ia
akan memiliki hikmah. Barang siapa dianugerahi hikmah, maka sesungguhnya ia
benar – benar telah dianugerahi karunia yang banyak tanpa ada akhirnya.
Seandainya Al quran tidak mengandung timbangan – timbangan, maka ia tidak sah
untuk disebut cahaya. Sebab, yang disebut cahaya adalah sesuatu yang bisa
menerangi dirinya juga bisa digunakan oleh seseorang untuk menerangi yang lain,
yang mana itu juga merupakan sifat timbangan, dan berarti firman Allah “ Tidak
ada sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata.” ( QS 6 : 59 ) adalah tidak benar. Sebab, semua disiplin ilmu tidak
dijelaskan di dalam Al quran secara jelas, tetapi di sana ada potensinya,
karena di dalam Alquran ada timbangan – timbangan yang benar yang bisa dipakai
untuk membuka pintu – pintu hikmah yang tiada terbatas. Dengan timbangan inilah
aku menyeru orang – orang khawas. Sementara kepada orang orang awam aku menyeru
dengan petuah yang baik dengan menggiring mereka kepada Al kitab dan membatasi
diri dengan sifat – sifat Allah SWT yang
ada di dalamnya. Dan kepada ahli debat, aku menyeru mereka dengan perdebatan
yang lebih baik. Jika ia tetap nyeleneh, maka aku hentikan perdebatan itu dan
akan kucegah kejelekanya dengan kekuatan dan besi yang diturunkan bersama
timbangan.
Wahai kawanku ! Coba sekarang
kemukakan, dengan apa imamu menangani ketiga kelompok ini ? Apakah ia mengajari
orang – orang awam, membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami
dan menentang Rasulullah SAW ? ataukah dengan mencuci otak orang – orang suka
berdebat dengan cara beradu argumentasi supaya tidak berdebat lagi, padahal
Rasulullah SAW sendiri tidak mampu melakukanya, meski telah dibekali dengan
beragam hujjah dari Allah dalam Al quran untuk menghadapi orang – orang kafir ?
Jika benar ia bisa melakukanya, begitu besar kekuatan imamu, karena telah
menjadi lebih berkuasa daripada Allah SWT dan Rasul-Nya; ataukah ia menyeru ahl
al bashirah ( orang – orang cerdik pandai ) untuk mentaklidinya, padahal mereka
adalah orang – orang yang tidak mau menerima sabda Rasulullah SAW bila hanya
dengan bertaklid dan tidak merasa puas dengan diubahnya tongkat menjadi ular.
Bahkan, mereka mengatainya sebagai perbuatan yang aneh. Dari mana dasarnya
bahwa dengan menunjukan hal seperti itu berarti si pelakunya adalah orang yang
benar ? sementara itu di alam ini banyak sekali keanehan – keanehan sihir dan
mantera yang bisa membingungkan akal. Orang yang dapat membedakan antara
mukjizat dan sihir hanyalah orang yang mengetahui kedua – duanya dan aneka
ragam bentuknya, sehingga mengetahui mana sihir mana mukjizat Musa AS, karena
mereka para pakar sihir. Lalu, siapakah orangnya yang mempunyai kemampuan
seperti ini ?
Untuk bisa mempercayai orang yang
memperlihatkan mukjizat, selain dengan melihat mukjizat, ahl bashirah selalu
ingin mengetahui kebenaran orang tersebut dari kata – katanya, sebagaimana
orang yang belajar ilmu hitung akan mengetahui kebenaran gurunya dalam
pengakuanya sebagai ahli hitung – menghitung bila ia melihat gurunya
menghitung. Inilah pengetahuan yang meyakinkan yang bisa memberi kepuasan bagi ulul albab dan ahl bashirah ( cerdik
pandai yang memiliki mata hati ). Mereka sama sekali tidak akan puas dengan
dengan selain itu. Jika mereka mengetahui Rasulullah SAW dan Al quran dengan jalan seperti itu,
baru mereka akan mempercayai kebenaran Rasulullah SAW dan Alquran. Bila mereka
sudah mempercayai kebenaran Alquran, pasti mereka memahami timbangan –
timbanganya, seperti yang telah aku paparkan kepadamu, dan mengambil kunci
semua ilmu berikut timbangan – timbanganya, sebagaimana yang aku paparkan dalam
kitab Jawahir al Quran. Kalau sudah begitu, mungkinkah mereka membutuhkan
imammu yang maksum ?
Sebenarnya, kesulitan apa dalam agama
yang pernah dipecahkan oleh imamu ? Dan hal – hal samar apa yang pernah ia
singkapkan ? Allah Ta’ala berfirman : Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah
olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan – sembahan (mu) selain
Allah (QS 31:11).
Engkau sudah mendengar metodaku dalam
timbangan – timbangan ilmu. Sekarang coba perlihatkan kepadaku apa saja yang
telah engkau dapatkan sampai saat ini dari imamu tentang kepelikan – kepelikan
ilmu ? Apa yang bisa kaum cerdik pandai pelajari darinya ? coba perlihatkan
kepadaku apa yang telah engkau pelajari dari imamu ! aku belum melihatnya :
Sekarang hati sang pencinta menjauh.
Apa yang di dapat dulu, sekarang hancur. Dulu memang ia tahu, tapi hakikat yang
sebenarnya belum tercapai. Tujuan undangan menghadiri jamuan
makan bukan sekedar mengundang saja, tetapi untuk makan – makan dan
menyantapnya. Aku lihat kalian mengajak orang – orang untuk mengikuti imam.
Lalu, aku lihat orang – orang yang menyambut ajakan tersebut, ternyata setelah
menyambutnya masih saja tetap bodoh seperti sebelumnya. Imammu belum mengurai
belenggu yang mencengkeram mereka. Bahkan, mungkin saja ia membelenggukan
kembali belenggu yang telah terurai. Penyambutan mereka kepada imammu tidak
memberi mereka tambahan pengetahuan, bahkan mungkin membuatnya tambah
menyimpang dan bodoh.
Ia : Aku telah lama bersahabat dengan
kawan – kawanku, tetapi aku tidak pernah mendapatkan ilmu apapun dari mereka,
selain yang mereka katakana,” Hendaklah engkau berpegang pada mazhab
pengajaran. Hindarilah penalaran dan analogi, karena itu merupakan biang
pertentangan dan perbedaan pendapat.”
Aku : Aneh sekali kalau mereka
menyerukan pengajaran ( ta’lim ), tetapi mereka sendiri tidak melakukanya. Katakana
kepada mereka,” kalian telah mengajaku untuk masuk mazhab pengajaran. Aku
sambut ajakan kalian. Karena itu ajarkanlah kepadaku apa yang ada pada kalian.”
Ia : Sepengetahuanku selain perkataan
tadi, mereka tidak pernah memberikan tambahan apapun kepadaku.
Aku : Sebenarnya aku pun menyerukan
pentingnya pengajaran, imam, dan batalnya penalaran ( ra’yu ) dan analogi (
qiyas ). Seandainya engkau bisa meninggalkan taklid. Aku akan mengajarkan hal
yang lebih banyak lagi kepadamu, yaitu ilmu – ilmu yang aneh dan rahasia –
rahasia Al quran. Akan ku keluarkan untukmu kunci semua ilmu dari Al quran,
sebagaimana aku telah mengeluarkan timbangan – timbangan ilmu, seperti yang
kutunjukan dalam kitab Jawahir al Quran. Hanya saja, aku tidak menyeru untuk
mengikuti imam manapun, kecuali Muhammad SAW aku juga tidak menyerukan untuk mengikuti kitab manapun, kecuali Al
quran. Dari sanalah aku mengeluarkan seluruh rahasia – rahasia ilmu. Buktiku
akan hal itu adalah lisan dan penjelasanku. Jika engkau meragukanku, uji saja !
Kemudian engkau nilai, mana yang lebih baik, belajar dariku ataukah dari kawan
– kawanmu ?
0 comments:
Posting Komentar