Jumat, 27 Juli 2012

Metode Kaum Arif Dalam Mengetahui Kebenaran

Add caption
Ia : Anda benar – benar telah memberikan pengobatan dengan sempurna, telah membukakan tabir yang selama ini menghalangiku. Anda juga telah menunjukan kepandaian. Akan tetapi, anda ini ibarat membangun istana dengan memporakporandakan kota. Tadinya, aku berharap dengan belajar dari anda tentang cara menimbang dengan timbangan yang benar dan merasa cukup dengan anda serta dengan Al quran, aku bisa lepas  dari imam yang maksum. Akan tetapi, begitu Anda menceritakan kepelikan – kepelikan dalam pintu – pintu kesalahan, harapan untuk bisa lepas dari imam hilang lagi. 
Sebab, aku merasa tidak akan terbebas dari berbuat salah ketika aku melakukan penimbangan sendirian. Sekarang aku tahu, mengapa orang – orang berbeda pendapat. Itu terjadi, karena mereka tidak
mengetahui kepelikan – kepelikan ini seperti anda. Di antara mereka ada yang salah juga yang benar. Kalau begitu, cara yang paling mudah untuk aku lakukan adalah meminta tolong kepada imam yang maksum, sehingga aku bisa terbebas dari kepelikan – kepelikan ini.

Aku : Kawanku yang malang ! pengetahuanmu tentang imam terpercaya bukanlah pengetahuan yang aksiomatik. Pengetahuan itu bisa didapat karena taqlid kepada orang tua atau mungkin juga merupakan hasil menjalankan timbangan – timbangan di atas. Setiap ilmu tidak ada dengan sendirinya ( awwali ). Ia pasti didapat oleh pemiliknya, karena mengoperasikan timbangan – timbangan tersebut dalam dirinya meski ia tidak menyadarinya. Engkau mengetahui kebenaran timbangan pengukuran, karena tersusunya dua premis ( eksperimental dan inderawi ) dalam otakmu. Orang lain pun sama sepertimu, meski mereka tidak menyadarinya. Semisal, orang yang mengetahui, bahwa hewan ini tidak hamil  karena ia keledai jantan, pengetahuanya itu pasti ia dapat karena tersusunya dua premis yang pernah aku ceritakan di muka, meski ia tidak menyadari sumber pengetahuanya.
Setiap ilmu yang ada di ala mini diperoleh oleh manusia dengan jalan seperti itu. Jika engkau meyakini kemaksuman seorang imam yang terpercaya atau bahkan kemaksuman Nabi Muhammad SAW hanya karena taqlid kepada orang tua dan kawan – kawanmu, maka engkau tidak ada bedanya dengan orang – orang Yahudi, Nashrani, dan Majusi. Sebab, mereka seperti itu. Dan jika engkau meyakininya karena menggunakan timbangan – timbangan, maka tidak menutup kemungkinan engkau terjebak dalam salah satu kepelikan – kepelikanya. Karena itu engkau jangan mempercayainya.
Ia : Anda benar. Lalu jalan mana yang mesti aku tempuh sementara jalan pengajaran dan timbangan sudah anda blokir ?
Aku : Kembali saja ke Al Quran. Al quran telah mengajarkan jalan yang harus engkau tempuh, dimana Allah SWT berfirman : Sesungguhnya orang – orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was – was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan – kesalahanya ( QS 7 : 201 ). Dan dia tidak berfirman, “ Mereka pergi kepada imam yang maksum, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan – kesalahanya.”
Engkau tentu tahu bahwa pengetahuan itu banyak sekali. Bila setiap kali menemukan masalah yang sulit engkau langsung pergi kepada imam yang maksum, engkau akan terus repot, dan ilmumu tetap sedikit. Jalan keluarnya adalah belajar dariku bagaimana cara menimbang yang betul dan memenuhi syarat – syaratnya. Jika engkau menemukan masalah sulit, pecahkan saja dengan timbangan sambil memikirkan syarat – syaratnya dengan pikiran yang jernih dan usaha optimal. Ketika itu, engkau akan bisa melihat kesalahan – kesalahanya. Hal ini seperti ketika engkau bingung menghitung hutang yang mesti engkau bayar kepada tukang sayur atau hutang tukang sayur kepadamu, atau ketika engkau menemukan masalah dalam membagi harta warisan dan engkau meragukan kebenaran dan kesalahanya. Masalah itu akan berlarut – larut jika engkau pergi menemui imam yang maksum. Pecahkan saja dengan menggunakan ilmu hitung dan lakukan beberapa kali sampai engkau yakin betul bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan. Ini diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu hitung dan tahu cara menimbang denganya, seperti yang kuketahui. Setelah menimbang denganya, hasil timbangan itu ingat – ingat, dipikirkan dan dihitung kembali beberapa kali hingga benar – benar yakin tidak ada kesalahan dalam penghitunganya. Jika engkau tidak menempuh jalan seperti ini, maka engkau tidak akan pernah bahagia dan akan terus dicekam oleh keragu – raguan :” siapa tahu…, boleh jadi . . .” Tidak menutup kemungkinan engkau salah dalam bertaklid kepada imam yang maksum, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang engkau imani, karena pengetahuan tentang kebenaran Nabi SAW bukanlah pengetahuan yang aksiomatik.
Ia : Anda telah member tahuku bahwa pengajaran itu benar dan imam yang sebenarnya adalah Nabi SAW. Namun, anda mengklaim bahwa setiap orang tidak mungkin mendapat ilmu langsung dari Nabi SAW tanpa mengetahui timbangan, dan setiap orang hanya akan mengetahui kesempurnaan timbangan bila belajar dari anda. Sepertinya anda mengklaim keimanan ( imamah ) khusus bagi diri anda. Apa bukti dan mukjizat anda, karena imam panutanku, selain bisa memperlihatkan mukjizat, ia juga bisa berargumentasi dengan teks ( nash ) yang diturunkan kepadanya secara turun temurun dari leluhurnya. Lalu mana teks dan mukjizat anda ?
Aku : Pernyataanmu “ Anda mengklaim keimanan Khusus bagi anda “ tidak benar. Kenyataanya tidak seperti itu. Justru aku berharap ada orang lain yang mengetahui pengetahuan ini, sehingga orang – orang bisa belajar darinya seperti belajar dariku. Aku tidak pernah menyatakan bahwa hanya akulah yang bisa mengajar. Berkaitan dengan pernyataanmu itu, ketahuilah bahwa terkadang yang aku maksud dengan ‘imam’ adalah orang yang belajar dari Allah melalui perantara jibril. Makna ini tidak aku klaim untuk diriku. Terkadang yang aku  maksud adalah orang yang belajar dari Allah tanpa perantara dan dari Jibril dengan perantara Rosul. Karenanya, Ali RA disebut imam, karena ia belajar dari rosululloh bukan langsung dari jibril. Makna inilah yang aku klaim untuk diriku.
Bukti – buktiku akan hal itu lebih jelas daripada sekedar teks dan sesuatu yang engkau yakini  sebagai mukjizat. Semisal, ada tiga orang di hadapanmu yang mengaku hafal Al quran. Lalu engkau beratanya,” apa buktinya ?” Kemudian, salah seorang diantara mereka menjawab, “buktinya aku mendapat dikte dari Al kisai, Maha guru para pembaca Al quran. Karena ia mendiktekan kepada guruku dan guruku mendiktekan kepadaku, berarti Al kisai mendiktekan kepadaku.” Orang yang kedua menjawab,” Aku bisa mengubah tongkat menjadi ular dan ular menjadi tongkat.” Dan yang ketiga menjawab.” Buktinya aku bisa membaca semua ayat Al quran di hadapanmu tanpa melihat mushaf.” Coba bukti yang mana yang menurutmu lebih jelas dan mana yang lebih dipercaya olehmu ?
Ia : Tentu bukti orang yang bisa membaca seluruh Al quran tanpa melihat mushaf. Itu merupakan bukti yang paling otentik, karena tidak membikin aku ragu. Adapun bukti dari orang yang mendapat dikte dari gurunya, dan gurunya mendapat dikte dari Al kisai, mungkin saja dalam dikte – dikte itu ada kesalahan, terutama dalam ayat – ayat yang panjang. Dan bukti dari orang – orang yang bisa mengubah tongkat menjadi ular atau ular menjadi tongkat, mungkin saja ia melakukan hal itu dengan trik – trik tertentu atau halusinasi. Kalaupun itu bukan halusinasi, tergetnya adalah menunjukan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang menakjubkan. Tidak ada dasarnya bahwa orang yang mampu melakukan sesuatu yang menakjubkan pasti orang yang hapal Al quran.
Aku : Buktikupun seperti itu. Seperti yang telah engkau ketahui, aku telah mengajarkan timbangan – timbangan sehingga engkau tahu. Aku memberikan pemahaman kepadamu dan aku hilangkan keraguan akan kebenaranya dari hatimu. Dengan demikian, berarti engkau tentu mempercayai keimananku. Ketika engkau belajar berhitung dari seorang guru, engkau mendapatkan ilmu berhitung dan ilmu aksiomatik lainya, yaitu bahwa gurumu bisa menghitung bahkan merupakan pakarnya. Sebagaimana dari pengajaranya engkau mengetahui ilmunya, engkau pun mengetahui kebenaran pengakuanya, bahwa ia adalah seorang yang bisa berhitung.
Aku mempercayai kebenaran Muhammad SAW dan Musa AS bukan karena mukjizat bisa membelah bulan dan mengubah tongkat menjadi ular, karena mungkin saja hal tersebut tersusupi berbagai ketidakjelasan. Karenanya, hal itu tidak bisa dijadikan dasar kepercayaan. Buktinya, orang yang mengimani perubahan tongkat menjadi ular ternyata kafir kembali karena mendengar suara anak sapi buatan samiri.
Kontradiksi di alam indera dan dunia nyata banyak sekali terjadinya. Aku pelajari timbangan – timbangan dari Al quran. Kemudian, aku gunakan timbangan – timbangan ini untuk menimbang semua pengetahuan – pengetahuan ketuhanan. Bahkan, keadaan – keadaan di alam akhirat, siksa kubur, siksa bagi orang – orang yang jahat, dan pahala bagi orang – orang yang taat, sebagaimana aku paparkan dalamk kitab jawahirul quran. Aku dapati semua pengetahuan itu sesuai dengan yang diterangkan dalam Al quran dan hadits. Karenanya, aku yakin bahwa Muhammad SAW dapat dipercaya dan Alquran itu benar. Aku lakukan apa yang dikatakan oleh imam Ali RA., dimana ia berkata :” Jangan mengakui kebenaran, karena ia disampaikan oleh orang – orang terkemuka, tetapi akuilah kebenaran karena pengetahuan ahlinya !”
Pengetahuanku akan kebenaran Nabi SAW adalah pengetahuan yang tidak terbantahkan, seperti pengetahuanmu ketika engkau melihat seorang laki – laki yang sedang berdebat dalam sebuah masalah fiqh, yang menguasai betul masalah itu dan menyuguhkan pemahaman yang benar dan jelas. Engkau tentu tidak akan ragu bahwa orang tersebut seorang ahli fiqh. Keyakinanmu yang diperoleh karena melihatnya seperti itu akan jauh lebih kuat daripada keyakinanmu atas kefaqihanya ketika ia bisa memperlihatkan bisa mengubah 1000 tongkat menjadi ular. Sebab, mungkin saja itu sihir, halusinasi, mantra, dan yang lainya.
Pengetahuan yang meyakinkan akan Alquran tidak akan diperoleh dalam rangkaian kejadian – kejadian ajaib tersebut, walaupun keberadaanya merupakan mukjizat, kecuali setelah melakukan penelitian panjang dan pengamatan yang seksama. Dengan penelitian itu pun hanya akan menghasilkan keimanan yang lemah, yaitu keimanan orang – orang awam dan orang – orang ahli kalam. Keimanan itu tidak seperti keimanan orang – orang yang memiliki visi dan penglihatan yang penuh pertimbangan ( arbab al musyahadah al nadhirin ), yang menyadapnya langsung dari lentera ketuhanan ( misykah al rububiyah ).
Ia : Aku juga ingin mengetahui Nabi SAW seperti anda. Anda telah menceritakan bahwa pengetahuan itu hanya akan di dapat dengan menimbang semua pengetahuan ketuhanan ( al ma’arif al ilahiyah ) dengan timbangan ini. Aku merasa masih belum jelas bahwa semua pengetahuan keagamaan dapat ditimbang dengan timbangan – timbangan ini. Bagaimana caranya supaya aku tahu ?
Aku : Tidak seperti yang engkau katakan. Aku tidak mengaku bahwa aku menggunakan timbangan – timbangan ini hanya untuk menimbang pengetahuan – pengetahuan keagamaan saja. Aku juga menggunakan untuk menimbang ilmu – ilmu perhitungan, tehnik, alam, fiqh, alam dan semua ilmu hakiki yang tidak termasuk ilmu wadh’I ( positif ). Dengan timbangan – timbangan ini, aku bisa membedakan yang benar dan yang salah. Mengapa tidak ? Timbangan ini merupakan neraca yang benar dan timbangan rekanan al kitab dalam firman Allah :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul – rasul Kami dengan membawa bukti – bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ( QS 57 : 25 )

Mengenai keingintahuanmu akan kemampuanku dalam hal ini, ketahuilah bahwa pengetahuan tidak akan diperoleh dari teks atau merubah tongkat menjadi ular. Ia diperoleh karena kemampuan itu terungkap lewat pengalaman dan pengujian. Orang yang mengaku mahir menunggang kuda, bila ia belum menunggang kuda dan memacunya di sebuah lapanga, maka kebenaran pengakuanya tidak akan terungkap. Karena itu, silahkan tanya apa  yang ingin engkau ketahui dari ilmu – ilmu keagamaan ! akan aku singkapkan tabir kebenaranya kepadamu satu demi satu. Aku menimbangnya dengan timbangan ini, dengan penimbangan yang membuahkan pengetahuan yang tidak terbantahkan, karena timbanganya benar dan ilmu yang dihasilkanya meyakinkan. Barangsiapa tidak mau mencoba, pasti tidak akan pernah tahu.
Ia : Bisakah anda memberitahukan semua hakikat dan pengetahuan ketuhanan kepada orang – orang, supaya perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka hilang ?
Aku : Tidak mungkin. Aku tidak akan mampu melakukanya. Sepertinya imammu yang maksum terus berusaha meghilangkan perbedaan di antara manusia dan menghapus beragam problematika dari hati mereka, para Nabi pun demikian, tetapi bilakah mereka menghentikan silang sengketa, kapan mereka bisa menjelmakan hal itu ?perbedaan di antara manusia merupakan ketentuan azali yang tidak bisa dihilangkan. Manusia akan senantiasa berbeda pendapat, kecuali orang yang dikasihi oleh Tuhanmu, dan untuk itulah mereka diciptakan. Kalimat Tuhanmu telah sempurna. Sekali – kali aku tidak pernah mengaku bisa menarik kembali keputusan Allah yang telah Dia tetapkan di azali. Apakah imamu mengaku mampu melakukanya ?jika ia mengaku mampu, mengapa sampai saat ini ia menyembunyikan kemampuanya, padahal dunia sudah kritis dan di ambang kehancuran karena perbedaan pendapat. Sayangnya, ‘Ali bin abi thalib, sang pemimpin umat, pun tidak bisa melakukanya. Sampai kapanpun perbedaan pendapat tidak akan pernah hilang. Hilang satu tumbuh seribu. Dan akan terus begitu selama – lamanya.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...