Add caption |
Ia : Anda benar – benar telah
memberikan pengobatan dengan sempurna, telah membukakan tabir yang selama ini
menghalangiku. Anda juga telah menunjukan kepandaian. Akan tetapi, anda ini
ibarat membangun istana dengan memporakporandakan kota. Tadinya, aku berharap
dengan belajar dari anda tentang cara menimbang dengan timbangan yang benar dan
merasa cukup dengan anda serta dengan Al quran, aku bisa lepas dari imam yang maksum. Akan tetapi, begitu
Anda menceritakan kepelikan – kepelikan dalam pintu – pintu kesalahan, harapan
untuk bisa lepas dari imam hilang lagi.
Sebab, aku merasa tidak akan terbebas
dari berbuat salah ketika aku melakukan penimbangan sendirian. Sekarang aku
tahu, mengapa orang – orang berbeda pendapat. Itu terjadi, karena mereka tidak
mengetahui kepelikan – kepelikan ini seperti anda. Di antara mereka ada yang
salah juga yang benar. Kalau begitu, cara yang paling mudah untuk aku lakukan
adalah meminta tolong kepada imam yang maksum, sehingga aku bisa terbebas dari
kepelikan – kepelikan ini.
Aku : Kawanku yang malang !
pengetahuanmu tentang imam terpercaya bukanlah pengetahuan yang aksiomatik.
Pengetahuan itu bisa didapat karena taqlid kepada orang tua atau mungkin juga
merupakan hasil menjalankan timbangan – timbangan di atas. Setiap ilmu tidak
ada dengan sendirinya ( awwali ). Ia pasti didapat oleh pemiliknya, karena
mengoperasikan timbangan – timbangan tersebut dalam dirinya meski ia tidak
menyadarinya. Engkau mengetahui kebenaran timbangan pengukuran, karena
tersusunya dua premis ( eksperimental dan inderawi ) dalam otakmu. Orang lain
pun sama sepertimu, meski mereka tidak menyadarinya. Semisal, orang yang
mengetahui, bahwa hewan ini tidak hamil
karena ia keledai jantan, pengetahuanya itu pasti ia dapat karena
tersusunya dua premis yang pernah aku ceritakan di muka, meski ia tidak
menyadari sumber pengetahuanya.
Setiap ilmu yang ada di ala mini
diperoleh oleh manusia dengan jalan seperti itu. Jika engkau meyakini
kemaksuman seorang imam yang terpercaya atau bahkan kemaksuman Nabi Muhammad
SAW hanya karena taqlid kepada orang tua dan kawan – kawanmu, maka engkau tidak
ada bedanya dengan orang – orang Yahudi, Nashrani, dan Majusi. Sebab, mereka
seperti itu. Dan jika engkau meyakininya karena menggunakan timbangan –
timbangan, maka tidak menutup kemungkinan engkau terjebak dalam salah satu
kepelikan – kepelikanya. Karena itu engkau jangan mempercayainya.
Ia : Anda benar. Lalu jalan mana yang
mesti aku tempuh sementara jalan pengajaran dan timbangan sudah anda blokir ?
Aku : Kembali saja ke Al Quran. Al
quran telah mengajarkan jalan yang harus engkau tempuh, dimana Allah SWT
berfirman : Sesungguhnya orang – orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was –
was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan – kesalahanya ( QS 7 : 201 ). Dan dia tidak berfirman, “ Mereka pergi
kepada imam yang maksum, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan –
kesalahanya.”
Engkau tentu tahu bahwa pengetahuan
itu banyak sekali. Bila setiap kali menemukan masalah yang sulit engkau
langsung pergi kepada imam yang maksum, engkau akan terus repot, dan ilmumu
tetap sedikit. Jalan keluarnya adalah belajar dariku bagaimana cara menimbang
yang betul dan memenuhi syarat – syaratnya. Jika engkau menemukan masalah
sulit, pecahkan saja dengan timbangan sambil memikirkan syarat – syaratnya dengan
pikiran yang jernih dan usaha optimal. Ketika itu, engkau akan bisa melihat
kesalahan – kesalahanya. Hal ini seperti ketika engkau bingung menghitung
hutang yang mesti engkau bayar kepada tukang sayur atau hutang tukang sayur
kepadamu, atau ketika engkau menemukan masalah dalam membagi harta warisan dan
engkau meragukan kebenaran dan kesalahanya. Masalah itu akan berlarut – larut
jika engkau pergi menemui imam yang maksum. Pecahkan saja dengan menggunakan
ilmu hitung dan lakukan beberapa kali sampai engkau yakin betul bahwa engkau
tidak akan melakukan kesalahan. Ini diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu
hitung dan tahu cara menimbang denganya, seperti yang kuketahui. Setelah
menimbang denganya, hasil timbangan itu ingat – ingat, dipikirkan dan dihitung
kembali beberapa kali hingga benar – benar yakin tidak ada kesalahan dalam
penghitunganya. Jika engkau tidak menempuh jalan seperti ini, maka engkau tidak
akan pernah bahagia dan akan terus dicekam oleh keragu – raguan :” siapa tahu…,
boleh jadi . . .” Tidak menutup kemungkinan engkau salah dalam bertaklid kepada
imam yang maksum, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang engkau imani, karena
pengetahuan tentang kebenaran Nabi SAW bukanlah pengetahuan yang aksiomatik.
Ia : Anda telah member tahuku bahwa
pengajaran itu benar dan imam yang sebenarnya adalah Nabi SAW. Namun, anda
mengklaim bahwa setiap orang tidak mungkin mendapat ilmu langsung dari Nabi SAW
tanpa mengetahui timbangan, dan setiap orang hanya akan mengetahui kesempurnaan
timbangan bila belajar dari anda. Sepertinya anda mengklaim keimanan ( imamah )
khusus bagi diri anda. Apa bukti dan mukjizat anda, karena imam panutanku,
selain bisa memperlihatkan mukjizat, ia juga bisa berargumentasi dengan teks (
nash ) yang diturunkan kepadanya secara turun temurun dari leluhurnya. Lalu
mana teks dan mukjizat anda ?
Aku : Pernyataanmu “ Anda mengklaim
keimanan Khusus bagi anda “ tidak benar. Kenyataanya tidak seperti itu. Justru
aku berharap ada orang lain yang mengetahui pengetahuan ini, sehingga orang –
orang bisa belajar darinya seperti belajar dariku. Aku tidak pernah menyatakan
bahwa hanya akulah yang bisa mengajar. Berkaitan dengan pernyataanmu itu,
ketahuilah bahwa terkadang yang aku maksud dengan ‘imam’ adalah orang yang
belajar dari Allah melalui perantara jibril. Makna ini tidak aku klaim untuk
diriku. Terkadang yang aku maksud adalah
orang yang belajar dari Allah tanpa perantara dan dari Jibril dengan perantara
Rosul. Karenanya, Ali RA disebut imam, karena ia belajar dari rosululloh bukan
langsung dari jibril. Makna inilah yang aku klaim untuk diriku.
Bukti – buktiku akan hal itu lebih
jelas daripada sekedar teks dan sesuatu yang engkau yakini sebagai mukjizat. Semisal, ada tiga orang di
hadapanmu yang mengaku hafal Al quran. Lalu engkau beratanya,” apa buktinya ?”
Kemudian, salah seorang diantara mereka menjawab, “buktinya aku mendapat dikte
dari Al kisai, Maha guru para pembaca Al quran. Karena ia mendiktekan kepada
guruku dan guruku mendiktekan kepadaku, berarti Al kisai mendiktekan kepadaku.”
Orang yang kedua menjawab,” Aku bisa mengubah tongkat menjadi ular dan ular
menjadi tongkat.” Dan yang ketiga menjawab.” Buktinya aku bisa membaca semua
ayat Al quran di hadapanmu tanpa melihat mushaf.” Coba bukti yang mana yang
menurutmu lebih jelas dan mana yang lebih dipercaya olehmu ?
Ia : Tentu bukti orang yang bisa
membaca seluruh Al quran tanpa melihat mushaf. Itu merupakan bukti yang paling
otentik, karena tidak membikin aku ragu. Adapun bukti dari orang yang mendapat
dikte dari gurunya, dan gurunya mendapat dikte dari Al kisai, mungkin saja
dalam dikte – dikte itu ada kesalahan, terutama dalam ayat – ayat yang panjang.
Dan bukti dari orang – orang yang bisa mengubah tongkat menjadi ular atau ular
menjadi tongkat, mungkin saja ia melakukan hal itu dengan trik – trik tertentu
atau halusinasi. Kalaupun itu bukan halusinasi, tergetnya adalah menunjukan
bahwa ia telah melakukan sesuatu yang menakjubkan. Tidak ada dasarnya bahwa
orang yang mampu melakukan sesuatu yang menakjubkan pasti orang yang hapal Al
quran.
Aku : Buktikupun seperti itu. Seperti
yang telah engkau ketahui, aku telah mengajarkan timbangan – timbangan sehingga
engkau tahu. Aku memberikan pemahaman kepadamu dan aku hilangkan keraguan akan
kebenaranya dari hatimu. Dengan demikian, berarti engkau tentu mempercayai
keimananku. Ketika engkau belajar berhitung dari seorang guru, engkau
mendapatkan ilmu berhitung dan ilmu aksiomatik lainya, yaitu bahwa gurumu bisa
menghitung bahkan merupakan pakarnya. Sebagaimana dari pengajaranya engkau
mengetahui ilmunya, engkau pun mengetahui kebenaran pengakuanya, bahwa ia
adalah seorang yang bisa berhitung.
Aku mempercayai kebenaran Muhammad SAW
dan Musa AS bukan karena mukjizat bisa membelah bulan dan mengubah tongkat
menjadi ular, karena mungkin saja hal tersebut tersusupi berbagai
ketidakjelasan. Karenanya, hal itu tidak bisa dijadikan dasar kepercayaan.
Buktinya, orang yang mengimani perubahan tongkat menjadi ular ternyata kafir
kembali karena mendengar suara anak sapi buatan samiri.
Kontradiksi di alam indera dan dunia
nyata banyak sekali terjadinya. Aku pelajari timbangan – timbangan dari Al
quran. Kemudian, aku gunakan timbangan – timbangan ini untuk menimbang semua
pengetahuan – pengetahuan ketuhanan. Bahkan, keadaan – keadaan di alam akhirat,
siksa kubur, siksa bagi orang – orang yang jahat, dan pahala bagi orang – orang
yang taat, sebagaimana aku paparkan dalamk kitab jawahirul quran. Aku dapati
semua pengetahuan itu sesuai dengan yang diterangkan dalam Al quran dan hadits.
Karenanya, aku yakin bahwa Muhammad SAW dapat dipercaya dan Alquran itu benar.
Aku lakukan apa yang dikatakan oleh imam Ali RA., dimana ia berkata :” Jangan
mengakui kebenaran, karena ia disampaikan oleh orang – orang terkemuka, tetapi
akuilah kebenaran karena pengetahuan ahlinya !”
Pengetahuanku akan kebenaran Nabi SAW
adalah pengetahuan yang tidak terbantahkan, seperti pengetahuanmu ketika engkau
melihat seorang laki – laki yang sedang berdebat dalam sebuah masalah fiqh,
yang menguasai betul masalah itu dan menyuguhkan pemahaman yang benar dan
jelas. Engkau tentu tidak akan ragu bahwa orang tersebut seorang ahli fiqh.
Keyakinanmu yang diperoleh karena melihatnya seperti itu akan jauh lebih kuat
daripada keyakinanmu atas kefaqihanya ketika ia bisa memperlihatkan bisa
mengubah 1000 tongkat menjadi ular. Sebab, mungkin saja itu sihir, halusinasi,
mantra, dan yang lainya.
Pengetahuan yang meyakinkan akan
Alquran tidak akan diperoleh dalam rangkaian kejadian – kejadian ajaib
tersebut, walaupun keberadaanya merupakan mukjizat, kecuali setelah melakukan
penelitian panjang dan pengamatan yang seksama. Dengan penelitian itu pun hanya
akan menghasilkan keimanan yang lemah, yaitu keimanan orang – orang awam dan
orang – orang ahli kalam. Keimanan itu tidak seperti keimanan orang – orang
yang memiliki visi dan penglihatan yang penuh pertimbangan ( arbab al
musyahadah al nadhirin ), yang menyadapnya langsung dari lentera ketuhanan (
misykah al rububiyah ).
Ia : Aku juga ingin mengetahui Nabi
SAW seperti anda. Anda telah menceritakan bahwa pengetahuan itu hanya akan di
dapat dengan menimbang semua pengetahuan ketuhanan ( al ma’arif al ilahiyah )
dengan timbangan ini. Aku merasa masih belum jelas bahwa semua pengetahuan
keagamaan dapat ditimbang dengan timbangan – timbangan ini. Bagaimana caranya
supaya aku tahu ?
Aku : Tidak seperti yang engkau
katakan. Aku tidak mengaku bahwa aku menggunakan timbangan – timbangan ini
hanya untuk menimbang pengetahuan – pengetahuan keagamaan saja. Aku juga
menggunakan untuk menimbang ilmu – ilmu perhitungan, tehnik, alam, fiqh, alam
dan semua ilmu hakiki yang tidak termasuk ilmu wadh’I ( positif ). Dengan
timbangan – timbangan ini, aku bisa membedakan yang benar dan yang salah.
Mengapa tidak ? Timbangan ini merupakan neraca yang benar dan timbangan rekanan
al kitab dalam firman Allah :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul
– rasul Kami dengan membawa bukti – bukti yang nyata dan telah kami turunkan
bersama mereka Al kitab dan neraca ( keadilan ) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan ( QS 57 : 25 )
Mengenai keingintahuanmu akan kemampuanku dalam hal ini, ketahuilah bahwa pengetahuan tidak akan diperoleh dari teks atau merubah tongkat menjadi ular. Ia diperoleh karena kemampuan itu terungkap lewat pengalaman dan pengujian. Orang yang mengaku mahir menunggang kuda, bila ia belum menunggang kuda dan memacunya di sebuah lapanga, maka kebenaran pengakuanya tidak akan terungkap. Karena itu, silahkan tanya apa yang ingin engkau ketahui dari ilmu – ilmu keagamaan ! akan aku singkapkan tabir kebenaranya kepadamu satu demi satu. Aku menimbangnya dengan timbangan ini, dengan penimbangan yang membuahkan pengetahuan yang tidak terbantahkan, karena timbanganya benar dan ilmu yang dihasilkanya meyakinkan. Barangsiapa tidak mau mencoba, pasti tidak akan pernah tahu.
Ia : Bisakah anda memberitahukan semua
hakikat dan pengetahuan ketuhanan kepada orang – orang, supaya perbedaan
pendapat yang terjadi di antara mereka hilang ?
Aku : Tidak mungkin. Aku tidak akan
mampu melakukanya. Sepertinya imammu yang maksum terus berusaha meghilangkan
perbedaan di antara manusia dan menghapus beragam problematika dari hati
mereka, para Nabi pun demikian, tetapi bilakah mereka menghentikan silang
sengketa, kapan mereka bisa menjelmakan hal itu ?perbedaan di antara manusia
merupakan ketentuan azali yang tidak bisa dihilangkan. Manusia akan senantiasa
berbeda pendapat, kecuali orang yang dikasihi oleh Tuhanmu, dan untuk itulah
mereka diciptakan. Kalimat Tuhanmu telah sempurna. Sekali – kali aku tidak
pernah mengaku bisa menarik kembali keputusan Allah yang telah Dia tetapkan di
azali. Apakah imamu mengaku mampu melakukanya ?jika ia mengaku mampu, mengapa
sampai saat ini ia menyembunyikan kemampuanya, padahal dunia sudah kritis dan
di ambang kehancuran karena perbedaan pendapat. Sayangnya, ‘Ali bin abi thalib,
sang pemimpin umat, pun tidak bisa melakukanya. Sampai kapanpun perbedaan
pendapat tidak akan pernah hilang. Hilang satu tumbuh seribu. Dan akan terus
begitu selama – lamanya.
0 comments:
Posting Komentar