Jumat, 27 Juli 2012

Timbangan Pertentangan

Ia : sekarang, tolong jelaskan kepadaku tentang timbangan pertentangan ( ta’anud ), paparkan contohnya dari Al quran, berikut standarnya dan tempat penggunaanya !

Aku : Contohnya dalam Al quran adalah firman Allah SWT sewaktu mengajari nabi Muhammad SAW :
Katakanlah : “ Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi ?” Allah,”dan sesungguhnya sesungguhnya kami atau kamu ( orang – orang musyrik ), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata, ( QS 34 : 24 ).
 
Allah mengemukakan ‘kami atau kalian’ bukan membicarakan soal kesetaraan atau keragu – raguan. Dalam ungkapan tersebut, Dia menyembunyikan sebuah premis lain, yaitu ‘ kami tidak berada dalam kesesatan.’ Kalau diungkapkan dalam bahasa kita mungkin akan seperti ini : sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada kalian dan dari bumi. Dia memberikan rezeki dari langit dengan menurunkan hujan dan dari bumi dengan menumbuhkan tanaman. Kalian telah tersesat, karena mengingkari hal tersebut.

Gambaran lengkap timbangan pertentangan dalam contoh di atas adalah : kami atau kalian pasti berada di atas kesesatan yang nyata. Ini premis mayornya. Kenyataanya kami tidak sesat. Ini premis minornya. Dari kedua premis itu dapat ditarik sebuah kesimpulan yang aksiomatik, yaitu kalianlah yang sesat.

Contoh standar penggunaan timbangan ini dari pengetahuan yang sudah maklum adalah : seseorang memasuki sebuah rumah yang hanya memiliki dua ruangan. Kemudian, kita masuk ke salah satunya, Dan ternyata di sana kita tidak melihat orang tersebut. Maka, kita akan langsung tahu bahwa ia berada di ruangan yang kedua. Pengetahuan ini didapat dari merangkapkan dua premis. Pertama, orang itu pasti ada di salah satu ruangan; kedua, orang itu jelas – jelas tidak ada di ruangan ini. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berada di ruangan lain. Kita bisa mengetahui bahwa ia berada di ruangan kedua, karena kita melihat ia berada di sana atau bisa juga karena kita melihat di ruangan pertama tidak ada siapa – siapa. Jika kita mengetahui ia berada di ruangan kedua karena kita melihatnya ia berada di sana, berarti pengetahuan tersebut berdasarkan pada penglihatan ( ilm iyanan ). Namun, jika kita mengetahuinya karena kita tidak melihatnya berada di ruangan pertama, berarti pengetahuan ini di dasarkan pada penimbangan. Pengetahuan hasil penimbangan sama bobotnya dengan pengetahuan yang di dasarkan pada penglihatan.

 Adapun batasan timbangan ini adalah, segala hal yang terbatas dalam dua bagian, maka menetapkan salah satunya berkonsekwensi menafikan yang lain. Begitu juga sebaliknya. Dengan syarat bagianya merupakan bagian yang memiliki batas ( munhasharah ), bukan bagian yang tidak terbatas ( muntasyirah ). Timbangan pertentangan yang menggunakan bagian yang tidak terbatas adalah timbangan setan. Timbangan tersebut dipakai oleh sebagian pakar pengajaran dalam menimbang pendapat –pendapat mereka atas berbagai hal, seperti yang kami paparkan lengkap dalam buku al Qawashim, jawab mufashshil al khilaf, al kitab al mustadziri, dan buku – buku lainya.

Penggunaan timbangan ini dalam persoalan yang jelimet banyak juga. Boleh jadi, sebagian besar persoalan teoritik berkutat pada timbangan ini. Semisal, ada orang yang mengingkari adanya wujud azali ( mawjud qodim ). Kita katakana kepadanya bahwa keberadaan wujud ada dua kemungkinan : pertama, seluruhnya baharu ( hadits ) ; kedua, sebagian baharu dan sebagian lagi azali. Ini merupakan pembagian yang terbatas, karena pembagian ini terlingkari antara penafian dan penetapan. Kemudian kita katakan : kenyataanya, wujud tidak semuanya baharu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud ada yang azali. Jika ada yang bertanya,”mengapa dikatakan bahwa wujud tidak semua baharu?” kita katakan saja, “ seandainya semua wujud baharu, berarti wujud baharu dengan sendirinya tanpa ada sebabnya. Itu merupakan sesuatu yang mustahil. Dengan demikian, keberadaan semua wujud baharu adalah batal. Dan dapat ditetapkan bahwa wujud ada yang azali. Contoh – contoh lain dalam penggunaan timbangan ini masih banyak, jumlahnya tidak terhitung.

Ia : Ya sudahlah, anda tidak perlu lagi mengemukakan contoh – contohnya. Sekarang aku sudah memahami betul kebenaran kelima timbangan yang anda paparkan. Akan tetapi, aku masih penasaran mengenai istilah – istilahnya. Mengapa anda mengistilahkan timbangan yang pertama dengan timbangan keseimbangan (ta’adul), timbangan kedua dengan pertautan (talazum) dan yang ketiga dengan pertentangan (ta’anud).

Aku : Timbangan yang pertama aku sebut timbangan keseimbangan, karena disana ada dua premis yang seimbang, seolah – olah keduanya adalah dua piringan timbangan yang sejajar. Lalu, timbangan yang kedua aku sebut timbangan pertautan (talazum), karena salah satu premisnya mencakup dua bagian yang saling bertautan. Yang satu disebut lazim dan yang lain disebut malzum. Seperti firman Allah Ta’ala : sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan – tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa (QS 21:22) firman Allah ‘tentulah keduanya itu telah rusak binasa’ adalah malzum dari firman Allah ‘sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan – tuhan selain Allah’. Kenyataanya langit dan bumi tidak hancur, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Tuhan – tuhan selain Allah tidak ada. Kesimpulan ini menunjukan bahwa lazim tidak ada. Sementara timbangan yang ketiga aku sebut timbangan pertentangan (ta’anud), karena timbangan tersebut merujuk pada pembatasan dua bagian antara dinafikan dan ditetapkan. Dengan ditetapkanya salah satu bagian, berarti bagian yang lain ternafikan. Begitu juga jika salah satu bagian dinafikan, berarti bagian yang lain ditetapkan. Antara dua bagian itu senantiasa ada pertentangan dan kontradiksi.

Ia : Istilah dan timbangan tersebut anda rekayasa sendiri atau memang sudah ada sebelumnya ?

Aku : Mengenai istilah – istilah tersebut aku yang merekayasanya, sementara timbangan – timbangan itu aku sarikan dari Al quran. Sepengetahuanku, akulah yang pertama kali menyarikan dari Al quran. Hanya saja, dasar dasarnya sudah ada yang mencetuskanya sebelum aku. Sepengetahuanku, timbangan – timbangan itu oleh pencetusnya diberi istilah – istilah lain yang berbeda dengan yang telah aku paparkan. Jauh sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW dan Isa AS pun sudah ada sebagian umat menamakan timbangan – timbangan tersebut dengan istilah – istilah lain. Mereka mempelajari timbangan – timbangan itu dari shuhuf Ibrahim AS dan shuhuf Musa AS. Aku sengaja mengganti label timbangan – timbangan itu, karena aku melihat watakmu lemah dan jiwamu mudah tunduk pada ilusi. Aku melihat engkau termasuk orang yang mudah terperdaya dengan penampilan luar. Kalau engkau disuguhi madu merah dalam gelas bekam, engkau tidak mau meminumnya, karena alergi dengan alat – alat yang dipakai untuk membekam. Akalmu juga tidak mampu memberitahukan bahwa madu tetap suci meski dituangkan dalam wadah kaca apapun. Bahkan, ketika engkau melihat orang turki memakai baju yang penuh dengan tambahan atau jubah, engkau langsung menghukumi bahwa ia seoarg sufi atau seorang ahli fiqh, dan seandainya seorang sufi mengenakan mantel dan peci engkau langsung menghukumi bahwa ia orang turki. Khayalanmu cepat tergerak untuk menilai sesuatu dengan melihat topengnya, bukan isinya. Begitu juga engkau tidak melihat sebuah pendapat dari substansinya, tetapi dari retorika penyampaianya atau siapa yang menyampaikanya. Jika ungkapanya tidak sreg denganmu atau orang yang mengutarakanya menurutmu tidak keren, maka engkau menolak pendapat tersebut, walaupun substansi pendapat itu sendiri baik dan benar. Ketika ada seorang mengatakan kepadamu, “ katakana tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah rosululloh,” pasti engkau tidak mau dan balik mengatakan,” itu perkataan orang nashrani, apa jadinya bila aku mengatakanya,” Tidak terpikir olehmu bahwa perkataan itu pada esensinya adalah kebenaran. Penyebab terkutuknya orang nashrani bukanlah karena kalimat di atas atau karena kalimat – kalimat lain, melainkan karena dua kalimat saja : pertama, Selain yang dua itu, pernyataan – pernyataan mereka yang lain adalah kebenaran. Maka, tatkala aku melihatmu dan teman – teman Pakar Pengajaranmu, yang lemah akalnya dan terperdaya oleh penampilan – penampilan luar, aku mencoba mengadaptasikan diri denganmu untuk memberimu obat yang aku tuangkan dalam kendi air. Aku terus memberimu obat dengan cara seperti itu hingga engkau sembuh. Aku perlakukan engkau dengan lembut seperti yang dilakukan seorang dokter kepada pasienya. Seandainya aku ceritakan kepadamu bahwa yang aku berikan itu adalah obat dan aku menghidangkanya dalam cangkir obat, tentu engkau tidak mau menerimanya. Kalaupun engkau menerima lalu meminumnya, niscaya engkau memuntahkanya kembali. Inilah alasanya mengapa aku mengganti istilah – istilah tersebut. Karya cipta ini akan diketahui oleh orang yang berilmu, diabaikan oleh orang yang bodoh, dan diingkari oleh orang yang mengingkari.

Ia : Sudahlah, sekarang aku sudah paham semuanya. Akan tetapi mana penjelasan yang telah anda janjikan bahwa timbangan ini mempunyai dua piringan dan satu tangkai yang berhubungan dengan kedua piringan tersebut. Dalam timbangan ini aku tidak melihat ada piringan dan tangkai. Mana timbangan yang anda bilang mirip dengan qabban ( dacin ) itu ?

Aku : Keenam pengetahuan ini aku peroleh dari dua premis. Premis – premis itulah yang disebut piringan, dan bagian yang dibagi bersama diantara dua premis itu dan termasuk di dalamnya, itulah yang disebut tangkai. Aku beri contoh dengan persoalan – persoalan fiqh, mudah – mudahan contoh ini bisa lebih mudah engkau pahami. Aku pernah mengatakan : setiap yang memabukan adalah haram. Ini piringan pertama. Aku juga mengatakan : setiap minuman keras perasan anggut memabukan. Ini piringan kedua. Kesimpulanya setiap minuman keras perasan anggur adalah haram.

Dalam dua premis di atas ada tiga hal, yaitu minuman keras perasan anggur, memabukan dan haram. ‘Minuman keras perasan anggur’ hanya ada dalam premis pertama, yang merupakan piringan pertama. ‘Haram’ juga hanya ada dalam premis kedua saja, yang merupakan piringan kedua. Sementara ‘memabukan’ disebutkan dalam dua premis tersebut. Ia diulang – ulang dalam kedua – duanya dan menghubungkan antara yang satu dengan yang lain. Itulah yang disebut tangkai, karena kedua piringan tersebut terhubung denganya. Piringan yang pertama, yaitu pernyataan “setiap minuman keras perasan anggur memabukan”,berhubungan denganya dalam arti menghubungnya mawshuf ( si empunya sifat ) kepada sifat : minuman kerasa perasan anggur disifati dengan memabukan. Sementara piringan kedua, yaitu pernyataan “setiap yang memabukan adalah haram”, berhubungan denganya dalam arti menghubungnya sifat kepada mawshuf. Renungkanlah hal ini sampai engkau bisa memahami betul. Kerusakan timbangan ini kadang terjadi karena piringanya, kadang karena tangkainya, dan kadang pula karena hubungan piringan dengan tangkainya, seperti yang pernah aku paparkan padamu dengan rumus yang lebih ringan dalam timbangan setan.

Timbangan- timbangan di atas mirip dengan qabban ( dacin ) adalah timbangan pertautan ( talazum ), karena salah satu dari kedua sisinya lebih panjang dari yang lain. Sebagai contoh,” seandainya penjualan maya ( barangnya tidak ada ) itu sah, maka harus ditegaskan dengan obligasi. “ ini merupakan premis panjang yang mencakup lazim dan malzum. Berikutnya engkau mengatakan :” kenyataanya tidak ada penegasan obligasi.” Ini merupakan premis kedua, lebih pendek dari yang pertama. Ini mirip dengan rumanah ( besi bulat ) pendek yang berhadapan dengan piringan dacin.

Sementara itu, timbangan keseimbangan kedua piringanya seimbang. Salah satu dari dua piringanya tidak lebih panjang dari yang lain. Bahkan, masing – masing diantara keduanya hanya memuat sifat dan mawshuf saja. Camkan hal ini dan camkan juga penjelasan yang telah aku paparkan kepadamu bahwa bentuk timbangan ruhani tidaklah seperti timbangan jasmani, tetapi dari aspek tertentu ada juga kemiripanya ! Karenanya, boleh saja menyerupakanya. Sebab, lahirnya sebuah kesimpulan adalah dari merangkapkan dua premis. Untuk sampai melahirkan sebuah kesimpulan, dari salah satu dua premis mesti ada bagian yang menjadi bagian yang lain. Contohnya ‘memabukan’ jika tidak, maka tidak akan bisa ditarik sebuah kesimpulan. Dari ucapanmu : “ setiap yang memabukan haram dan setiap barang yang dighosob mesti diamankan,” sama sekali tidak akan bisa diambil sebuah kesimpulan. Keduanya memang merupakan premis, tetapi diantara keduanya tidak ada keterkaitan dan perpaduan. Dari salah satu premis itu tidak ada sesuatu yang menjadi bagian yang lain. Sebuah kesimpulan hanya bisa ditarik dari bagian yang mempertemukan salah satu premis dengan yang lain. Bagian tersebut aku sebut sebagai tangkai timbangan.

Seandainya pintu penimbangan antara hal – hal yang diketahui lewat indera dan akal telah terbuka padamu, niscaya pintu besar untuk mengetahui penimbangan antara alam mulki ( baca : alam nyata ) dan alam malakut ( baca : alam ghaib ), yang di baliknya tersembunyi berbagai rahasia yang menakjubkan, pun akan tebuka. Barang siapa tidak mau menelaah pintu pengetahuan ini, maka ia tidak akan bisa menyerap cahaya – cahaya alquran, tidak akan mendapatkan pelajaran darinya, dan ilmu yang ia dapat hanyalah cangkang semata.

Sebagaimana Al quran menyimpan timbangan – timbangan setiap ilmu, iapun menyimpan kunci setiap ilmu tersebut, seperti yang aku jelaskan dalam buku jawahir al quran ( mutiara – mutiara Al quran ) silahkan cari dan pelajari buku tersebut ! keseimbangan antara alam mulki ( alam nyata ) dan alam malakut ( alam ghoib ) hanya bisa dijembatani dengan hakikat – hakikat maknawi yang tersembunyi dalam perumpamaan – perumpamaan imajinatif, yang sebagianya tersingkap dalam mimpi. Mimpi ( ru ya ) merupakan bagian dari kenabian, dan di alam kenabian seluruh tabir alam mulki dan alam malakut tersingkapkan.

Sebagai contoh seorang laki – laki bermimpi tanganya memegang sebuah stempel. Dengan setempel itu, ia menyetempel seluruh mulut laki – laki dan kemaluan perempuan. Kemudian, mimpi itu ia ceritakan kepada Ibnu sirin. Ibnu sirin bertanya, “ engkau suka adzan shubuh di bulan ramadhan, yah ?” orang itu menjawab, “Ya. “ Coba perhatikan ! Mengapa keadaanya tersingkap kepadanya dari alam ghaib dalam perumpamaan seperti itu. Coba cari perimbangan antara perumpamaan tersebut dan adzan shubuh di bulan ramadhan ! Mungkin orang yang adzan tersebut pada hari kiamat kelak akan melihat dirinya menggenggam stempel dari api. Kemudian kepadanya dikatakan, “ itulah yang engkau gunakan dalam menyetempel seluruh bibir laki – laki dan kemaluan perempuan.”ia berkata :” demi Allah, aku tidak pernah melakukan pekerjaan itu. Dijawab, “ ya engkau melakukanya, hanya saja engkau tidak menyadarinya. Inilah ruh perbuatanmu. Hakikat dan ruh berbagai hal hanya akan tersingkap di alam ruh. Di alam inderawi dan alam khayal, ruh terbungkus bentuk. Sekarang, aku singkapkan bungkus yang menghalangimu itu. Hari ini penglihatanmu sangat tajam setajam besi. “ Tidak hanya perbuatan – perbuatan baik saja, perbuatan setiap orang yang suka melanggar batasan –batasan syariat pun akan disingkapkan dengan perimbangan seperti itu. Jika kau ingin mengetahui lebih lanjut, silahkan pelajari bab hakikat kematian dalam ihya atau silahkan buka buku jawahirul Quran. Di sana engkau bisa melihat berbagai keajaiban. Renungkanlah isinya dengan seksama, siapa tahu pintu alam malakut di bukakan kepadamu dan dari sana engkau bisa menyadap berbagai berita. Aku belum melihat pintu tersebut dibukakan untukmu. Engkau hanya menunggu pengetahuan tentang berbagai hakikat dari seorang guru ghaib yang tidak engkau lihat. Seandainya engkau melihat guru itu, niscaya engkau dapati ia jauh lebih lemah pengetahuanya daripada engkau. Kerananya, lebih baik engkau ambil ilmu pengetahuan dari orang yang sudah melanglang buana, mencapai makrifat dan sudah melakukan penelitian. Jatuhkanlah pilihanmu kepada orang yang berpengalaman.

Ia : ini adalah masalah baru yang perlu kita bicarakan. Mengenai guru yang ghaib itu, meski aku tidak melihat sosoknya, aku telah mendengar berita tentangnya. Kalau diibaratkan, meski aku tidak melihat singa, aku dapat melihat pengaruhnya. Aku lihat ibuku hingga menjelang wafatnya dan maulana al hasan bin al shabah, pengarang buku Qol’ah Al maut, memuji guru yang ghaib itu sedemikian rupa, sampai – sampai mereka mengatakan bahwa guru yang ghaib itu mengetahui apa yang terjadi di ala mini dari jarak 1000 farsakh ( 1 farsakh = ± 8 km atau 3 ¼ mil. Haruskah aku mendustakan ibuku yang sudah tua dan baik tingkah lakunya atau maulana Al Hasan yang baik hati dan baik budi pekertinya. Sekali kali tidak. Mereka adalah saksi yang jujur. Bagaimana tidak, pendapat mereka sama dengan pendapat kawan – kawanku di damighan ( sebuah kota besar antara ray dan naisabur ) dan Isfahan. Mereka adalah para panutan, ketetapan – ketetapan mereka senantiasa dipatuhi. Apakah menurutmu mereka terperdaya, padahal mereka adalah orang – orang cerdas ? atau apakah mereka berbohong, padahal mereka adalah orang – orang yang bertakwa ? tidak mungkin, tidak mungkin. Anda jangan menggunjing. Tidak diragukan lagi, panutanku dapat melihat apa yang sedang terjadi diantara kita. Tidak ada setitik atompun, baik di langit ataupun di bumi yang luput dari pengamatanya. Aku khawatir kena marah, meski cuma mendengar dan memperhatikan saja. Kita tutup saja persoalan ini dan kita kembali kepada pembicaraan tentang timbangan. Jelaskan kepadaku apa itu timbangan setan dan bagaimana pakar pengajaran menggunakanya ?

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...