Jumat, 27 Juli 2012

Gambaran Penalaran Dan Analogi Serta Bukti Kebatilanya

Ia : Untuk memutuskan hubungan dengan kawan – kawanku dan belajar pada anda mungkin aku terhalang dengan wasiat ibuku menjelang kematiannya, yang pernah aku singgung kepada anda. Akan tetapi, aku ingin anda menguak sisi kebobrokan penalaran dan analogi. Menurutku, tidak menutup kemungkinan Anda merendahkan akalku. Lalu, anda mengelabuiku dengan mengganti istilah analogi dan penalaran dengan timbangan ( mizan ), dan untuk menunjangnya anda menggunakan ayat – ayat Al quran. Menurutku, timbangan itu juga analogi yang diklaim oleh kawan – kawan anda.
 
Aku : Jauh sekali perkiraanmu itu. Baiklah, akan aku jelaskan kepadamu apa yang aku dan mereka maksud dengan penalaran ( ra’yu ) dan analogi ( qiyas ). Contoh penalaran dan analogi adalah pernyataan kaum Mu’tazilah : “ Allah SWT wajib memelihara yanga paling bermaslahat bagi hamba – hamba – Nya.” Jika mereka dituntut untuk membuktikan yang paling bermaslahat itu, maka yang menjadi rujukan mereka hanyalah penalaran yang mereka anggap baik menurut akal mereka. Jelasnya, mereka membandingkan Sang Pencipta dengan makhluk dan membandingkan hikmah-Nya dengan hikmah mereka. Anggapan baik menurut akal inilah yang disebut penalaran, yang tidak aku jadikan sandaran, karena ia melahirkan kesimpulan – kesimpulan yang bila ditimbang dengan timbangan – timbangan Al quran akan terlihat kerusakanya. Contoh jelasnya pernyataan di atas. Jika pernyataan tersebut aku timbang dengan timbangan pertautan, maka akan seperti ini : Seandainya yang paling bermaslahat bagi hamba adalah wajib atas Allah SWT, tentu Dia melaksanakanya. Kenyataanya, Dia tidak melaksanakanya. Maka, hal ini menunjukan bahwa memang hal itu tidaklah wajib. Sebab, Allah tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang wajib. Jika pengikut kelompok Mu’tazilah mengatakan ,” Aku dapat menerima pernyataan anda bahwa seandainya hal itu wajib, tentu Dia melaksanakanya. Akan tetapi, aku tidak bisa menerima pernyatan Anda bahwa Dia tidak melaksanakanya,” maka aku katakan:” Jika memang Allah telah melaksanakan yang paling bermaslahat, tentu Dia menciptakan manusia di surga dan membiarkan mereka tinggal di sana. Sebab, hal itu lebih bermaslahat bagi mereka. Kenyataanya, Dia tidak berbuat demikian. Itu menunjukan bahwa Dia tidak melaksanakan yang paling bermaslahat. Ini juga merupakan kesimpulan dari timbangan pertautan.
 
Sekarang pihak lawan debat ( kelompok mu’tazilah ) dihadapkan pada pilihan antara mengingkari kenyataan dan mengatakan bahwa Allah membiarkan mereka tinggla di surga; kalau mereka sampai berkata demikian, maka perkataanya membuktikan kebohonganya; atau mengatakan bahwa yang lebih bermaslahat bagi mereka adalah dikeluarkan ke dunia, negeri yang penuh cobaan, dan menghadapkan mereka kepada berbagai kesalahan. Kemudian, pada hari dibeberkanya berbagai rahasia Allah berfirman kepada Adam :” Hai adam, keluarkanlah sebagian penghuni neraka !” Adam bertanya,” Berapa banyak ?” Allah menjawab,” Dari setiap seribu, keluarkan 999 orang, “ sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits shahih. Lawan debat ini mengira bahwa hal ini lebih bermaslahat bagi para hamba daripada diciptakan di surge dan membiarkan mereka tinggal di sana. Menurutnya, kalau diciptakan di surge, nikmat yang mereka dapatkan bukan karena usaha dan kemampuan mereka. Dengan demikian, anugrah yang diberikan kepada mereka begitu besar, dan anugerah tersebut merupakan beban. Berbeda jika mereka mendengar dan mentaati. Maka, apa yang mereka dapatkan adalah balasan dan pahala, bukan sekedar anugerah.
Aku menghindarkan telingamu dan lisanku dari hikayat seperti itu, apalagi untuk mengomentarinya. Perhatikan contoh di atas agar bisa melihat kekeliruan kesimpulan – kesimpulan penalaran. Engkau tentu tahu bahwa Allah SWT akan menempatkan anak – anak yang meninggal sejak kecil di sebuah tempat khusus di dalam surge yang berbeda dengan surga yang dihuni oleh orang – orang dewasa yang taat. Jika anggapan kaum Mu’tazilah benar, anak – anak itu pasti mengajukan komplain, “Tuhan, engkau jangan kikir kepada kami. Yang lebih maslahat bagi kami adalah menempatkan kami dalam derajat yang dicapai oleh orang – orang dewasa !” Allah SWT – menurut anggapan kaum Mu’tazilah- menjawab,” bagaimana mungkin aku menempatkan kalian dalam derajat mereka ? mereka bisa mendapatkan derajat itu, karena mereka sudah baligh, bekerja keras, dan taat. Sementara kalian sudah mati sejak kecil.” Anak – anak itu menjawab,” Tuhan, engkau telah mematikan kami sejak kecil. Engkau mengharamkan kami untuk berlama – lama di dunia dan di akhirat Engkau menghalang – halangi kami dari derajat tinggi. Yang lebih bermaslahat bagi kami adalah menyampaikan kami hingga derajat mereka atau tidak mematikan kami sejak kecil. Kenapa engkau mematikan kami sejak kecil ?” Allah SWT menjawab,” Sesungguhnya aku tahu bahwa seandainya kalian mencapai derajat mereka, pasti kalian menjadi kafir sehingga layak dimasukan ke dalam neraka untuk selama – lamanya. Aku tahu bahwa yang lebih bermaslahat bagi kalian adalah mati sejak kecil.” Mendengar jawaban tersebut, orang – orang kafir yang sudah baligh ( dewasa ), yang berada di ujung jurang neraka berteriak, “ Tuhan, bukankah Engkau tahu bahwa jika kami dewasa niscaya kami menjadi kafir, lalu mengapa Engkau tidak matikan kami sejak kecil. Diberi 1/10 dari derajat anak – anak kecil itupun kami akan puas.” Sampai di sini kaum Mu’tazilah tidak memiliki jawaban yang harus diberikan oleh Allah SWT kepada mereka. Kalau begitu orang – orang kafir memiliki hujjah yang memojokan Allah. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa yang orang zalim katakan dengan ketinggian yang sebesar – besarnya.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...