Ia : Untuk memutuskan hubungan dengan
kawan – kawanku dan belajar pada anda mungkin aku terhalang dengan wasiat ibuku
menjelang kematiannya, yang pernah aku singgung kepada anda. Akan tetapi, aku
ingin anda menguak sisi kebobrokan penalaran dan analogi. Menurutku, tidak
menutup kemungkinan Anda merendahkan akalku. Lalu, anda mengelabuiku dengan
mengganti istilah analogi dan penalaran dengan timbangan ( mizan ), dan untuk
menunjangnya anda menggunakan ayat – ayat Al quran. Menurutku, timbangan itu
juga analogi yang diklaim oleh kawan – kawan anda.
Aku : Jauh sekali perkiraanmu itu.
Baiklah, akan aku jelaskan kepadamu apa yang aku dan mereka maksud dengan
penalaran ( ra’yu ) dan analogi ( qiyas ). Contoh penalaran dan analogi adalah
pernyataan kaum Mu’tazilah : “ Allah SWT wajib memelihara yanga paling
bermaslahat bagi hamba – hamba – Nya.” Jika mereka dituntut untuk membuktikan
yang paling bermaslahat itu, maka yang menjadi rujukan mereka hanyalah
penalaran yang mereka anggap baik menurut akal mereka. Jelasnya, mereka
membandingkan Sang Pencipta dengan makhluk dan membandingkan hikmah-Nya dengan
hikmah mereka. Anggapan baik menurut akal inilah yang disebut penalaran, yang
tidak aku jadikan sandaran, karena ia melahirkan kesimpulan – kesimpulan yang
bila ditimbang dengan timbangan – timbangan Al quran akan terlihat kerusakanya.
Contoh jelasnya pernyataan di atas. Jika pernyataan tersebut aku timbang dengan
timbangan pertautan, maka akan seperti ini : Seandainya yang paling bermaslahat
bagi hamba adalah wajib atas Allah SWT, tentu Dia melaksanakanya. Kenyataanya,
Dia tidak melaksanakanya. Maka, hal ini menunjukan bahwa memang hal itu
tidaklah wajib. Sebab, Allah tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang wajib.
Jika pengikut kelompok Mu’tazilah mengatakan ,” Aku dapat menerima pernyataan
anda bahwa seandainya hal itu wajib, tentu Dia melaksanakanya. Akan tetapi, aku
tidak bisa menerima pernyatan Anda bahwa Dia tidak melaksanakanya,” maka aku
katakan:” Jika memang Allah telah melaksanakan yang paling bermaslahat, tentu
Dia menciptakan manusia di surga dan membiarkan mereka tinggal di sana. Sebab,
hal itu lebih bermaslahat bagi mereka. Kenyataanya, Dia tidak berbuat demikian.
Itu menunjukan bahwa Dia tidak melaksanakan yang paling bermaslahat. Ini juga
merupakan kesimpulan dari timbangan pertautan.
Sekarang pihak lawan debat ( kelompok
mu’tazilah ) dihadapkan pada pilihan antara mengingkari kenyataan dan
mengatakan bahwa Allah membiarkan mereka tinggla di surga; kalau mereka sampai
berkata demikian, maka perkataanya membuktikan kebohonganya; atau mengatakan
bahwa yang lebih bermaslahat bagi mereka adalah dikeluarkan ke dunia, negeri
yang penuh cobaan, dan menghadapkan mereka kepada berbagai kesalahan. Kemudian,
pada hari dibeberkanya berbagai rahasia Allah berfirman kepada Adam :” Hai
adam, keluarkanlah sebagian penghuni neraka !” Adam bertanya,” Berapa banyak ?”
Allah menjawab,” Dari setiap seribu, keluarkan 999 orang, “ sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits shahih. Lawan debat ini mengira bahwa hal ini
lebih bermaslahat bagi para hamba daripada diciptakan di surge dan membiarkan
mereka tinggal di sana. Menurutnya, kalau diciptakan di surge, nikmat yang
mereka dapatkan bukan karena usaha dan kemampuan mereka. Dengan demikian,
anugrah yang diberikan kepada mereka begitu besar, dan anugerah tersebut
merupakan beban. Berbeda jika mereka mendengar dan mentaati. Maka, apa yang
mereka dapatkan adalah balasan dan pahala, bukan sekedar anugerah.
Aku menghindarkan telingamu dan
lisanku dari hikayat seperti itu, apalagi untuk mengomentarinya. Perhatikan
contoh di atas agar bisa melihat kekeliruan kesimpulan – kesimpulan penalaran.
Engkau tentu tahu bahwa Allah SWT akan menempatkan anak – anak yang meninggal
sejak kecil di sebuah tempat khusus di dalam surge yang berbeda dengan surga
yang dihuni oleh orang – orang dewasa yang taat. Jika anggapan kaum Mu’tazilah
benar, anak – anak itu pasti mengajukan komplain, “Tuhan, engkau jangan kikir
kepada kami. Yang lebih maslahat bagi kami adalah menempatkan kami dalam
derajat yang dicapai oleh orang – orang dewasa !” Allah SWT – menurut anggapan
kaum Mu’tazilah- menjawab,” bagaimana mungkin aku menempatkan kalian dalam
derajat mereka ? mereka bisa mendapatkan derajat itu, karena mereka sudah
baligh, bekerja keras, dan taat. Sementara kalian sudah mati sejak kecil.” Anak
– anak itu menjawab,” Tuhan, engkau telah mematikan kami sejak kecil. Engkau
mengharamkan kami untuk berlama – lama di dunia dan di akhirat Engkau
menghalang – halangi kami dari derajat tinggi. Yang lebih bermaslahat bagi kami
adalah menyampaikan kami hingga derajat mereka atau tidak mematikan kami sejak
kecil. Kenapa engkau mematikan kami sejak kecil ?” Allah SWT menjawab,”
Sesungguhnya aku tahu bahwa seandainya kalian mencapai derajat mereka, pasti
kalian menjadi kafir sehingga layak dimasukan ke dalam neraka untuk selama –
lamanya. Aku tahu bahwa yang lebih bermaslahat bagi kalian adalah mati sejak
kecil.” Mendengar jawaban tersebut, orang – orang kafir yang sudah baligh (
dewasa ), yang berada di ujung jurang neraka berteriak, “ Tuhan, bukankah
Engkau tahu bahwa jika kami dewasa niscaya kami menjadi kafir, lalu mengapa
Engkau tidak matikan kami sejak kecil. Diberi 1/10 dari
derajat anak – anak kecil itupun kami akan puas.” Sampai di sini kaum
Mu’tazilah tidak memiliki jawaban yang harus diberikan oleh Allah SWT kepada
mereka. Kalau begitu orang – orang kafir memiliki hujjah yang memojokan Allah.
Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa yang orang zalim katakan dengan
ketinggian yang sebesar – besarnya.
0 comments:
Posting Komentar