Jumat, 19 Agustus 2011

Timbangan Keseimbangan Kategori Besar


Ia : Tolong jelaskan kepadaku ihwal apa itu timbangan keseimbangan kategori besar. Hanya saja, sebelumnya jelaskan dulu makna dari istilah keseimbangan ( at ta'adul ), pertautan ( at talazum ), pertentangan ( at ta'anud ), besar, pertengahan, dan kecil. Aku yakin dibalik istilah - istilah ini ada makna yang sangat pelik.
Aku : " engkau akan memahami istilah - istilah itu bila sudah menguak makna - maknanya. setelah itu, engkau akan mengetahui relevansinya dengan hakikatnya. Pertama - tama, aku jelaskan kepadamu bahwa sebenarnya timbangan ini hampir sama dengan timbangan yang telah engkau ceritakan, tetapi dalam tataran makna, bukan dalam tataran bentuk. Sebab, timbangan ini merupakan timbangan ruhani yang tidak bisa disamakan dengan timbangan jasmani. Bagaimana mungkin bisa disamakan, sementara timbangan jasmani sendiri berbeda - beda ?.
Qalasthun dan Thayar ( nama dua jenis timbangan di era penulis, sebagian ulama menafsirkan Qalasthun dengan Qabban / sejenis dacin )  adalah timbangan. Astrolabe ( al ishtirlab ) adalah juga timbangan, yakni untuk mengukur gerak benda - benda angkasa. Mistar ( almistharah ) adalah juga timbangan, yakni untuk mengukur jarak dalam garis. As syaqul pun timbangan, yakni untuk mengukur kelurusan dan kemiringan. Meski bentuknya berbeda - beda, timbangan - timbangan itu adalah juga alat untuk mengetahui lebih dan kurang. Bahkan, 'Arudh pun timbangan, yaitu untuk menimbang syair ( sajak ). 'Arudh digunakan untuk mengetahui notasi -notasi ( awzan ) syair, sehingga bisa dibedakan mana syair yang beraturan dan mana yang tidak. Dibanging dengan timbangan - timbangan jasmani lainya, timbangan 'Arudh ini paling ruhani. Hanya saja, ia tetap tidak bisa terlepas dari hubungan dengan jasmani, karena merupakan timbangan suara, dan suara tidak bisa terlepas dari jisim. Timbangan yang paling ruhani adalah timbangan hari kiamat. Timbangan ini digunakan untuk menimbang amal, keyakinan dan pengetahuan hamba - hamba Allah. Karena pengetahuan dan keimanan bukan jisim, timbanganya harus ruhani. Demikian juga timbangan Al quran yang dipakai untuk menimbang pengetahuan. Ia adalah timbangan ruhani. Hanya saja, definisinya di dunia nyata ( alam asy syahadah ) terkait dengan sampul. Sampul ini berkaitan erat dengan jisim - jisim, meskipun ia sendiri bukan jisim. Mendefinisikan sesuatu di alam ini pasti dilakukan secara musyafahah ( melalui lisan ), yaitu dengan suara, dan suara berkaitan dengan jisim, atau dengan mukatabah ( melalui tulisan ) yang berkaitan dengan tanda baca, dan tanda baca merupakan goresan - goresan di atas kertas, yang lagi - lagi merupakan jisim. Ini semua merupakan hukum buat sampulnya, sedangkan timbangan itu sendiri murni ruhani, tidak ada kaitan apa - apa dengan jisim, karena yang ditimbang denganya adalah pengetahuan Allah yang di luar dunia jisim, yang tersucikan dari hubungan dengan arah dan penjuru, terutama dengan zatiah jisim. Namun demikian, timbangan ini tetap memiliki tangkai dan dua piringan timbangan. Kedua piringan terhubung dengan tangkai, dan tangkai dibagi rata oleh kedua piringan karena masing - masing piringan terhubung denganya. Ini berlaku dalam timbangan keseimbangan ( at ta'adul ). sementara itu, timbangan pertautan ( at talazum ) lebih mirip dengan dacin ( Al qabban ), karena hanya memiliki satu piringan, tetapi piringan itu diseimbangkan dengan rumanah ( besi bulat ) yang dipakai untuk membedakan dan mengukur timbanganya.

Ia : " Ini memang dentaman yang dahsyat, tetapi maknanya tidak ada. Aku hanya mendengar suara gilinganya saja, tetapi tepung hasil gilinganya tidak ada ! "

Aku : " Bersabarlah ! Allah berfirman : ...Dan janganlah engkau tergesa - gesa membaca Al quran sebelum disempurnakan pewahyuanya kepadamu, dan katakanlah : " Ya Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan ( Q.S 20 : 114 ). Ingat terburu - buru adalah perbuatan setan, sementara berhati - hati adalah perbuatan Allah.

Ketahuilah bahwa timbangan keseimbangan kategori besar adalah timbangan yang digunakan Al khalil Ibrahim a.s ketika beradu argumentasi dengan Namrudz. Kita mempelajarinya dari beliau melalui Al quran. Waktu itu, Namrudz mengklaim dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Karenanya, Nabi Ibrahim a.s menyanggah, 'Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhanku, karena Dia bisa menghidupkan dan mematikan, sedangkan engkau tidak.' Namrudz menjawab, " aku juga bisa menghidupkan dan mematikan "  ( Q.S 2 : 258 ). Yang dia maksud dengan menghidupkan adalah menghidupkan sperma menjadi janin dengan cara bersenggama, dan yang dimaksud dengan mematikan adalah membunuh. Dari jawabanya itu,  Nabi Ibrahim paham bahwa dengan pernyataanya di atas akan sulit memahamkan kepada Namrudz bahwa pemahanya batil. Karenanya, beliau mengganti argumentasinya dengan yang lebih jelas dan dapat dipahami oleh Namrudz. Beliau berkata, " sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, ( kalau kamu memang benar Tuhan ) maka terbitkanlah ia dari barat ! " ( Q.S 2 : 258 ). Mendengar tantangan tersebut, orang kafir itu diam seribu bahasa. Dan atas argumentasi ini, Allah memuji Nabi Ibrahim a.s. Dia berfirman : Dan itulah hujjah kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya ( Q.S 6 : 83 ).

Dari  situ aku tahu bahwa dalam pernyataan Nabi Ibrahim a.s ada argumentasi dan bukti. Aku mengamati bagaimana beliau menimbang sebagaimana engkau mengamati timbangan emas dan perak. Dalam argumentasinya, aku melihat dua premis yang dirangkapkan, kemudian dari keduanya lahir sebuah kesimpulan, yaitu pengetahuan. Sebab, bangunan Al quran itu didirikan di atas pondasi ( premis ) penghapusan ( hadzf ) dan penyimpelan ( ijaz ). Gambaran lengkap dari timbangan ini adalah : barangsiapa mampu menerbitkan matahari, maka Ia adalah Tuhan. Ini premis pertama. Tuhanku berkuasa menerbitkan itu. Ini premis kedua. Dengan digabungkanya dua premis itu, lahirlah sebuah kesimpulan : " Tuhanku adalah Tuhan yang sebenarnya, bukan kamu wahai Namrudz ! " sekarang perhatikan ! Apakah mungkin orang yang mengakui kebenaran premis ini akan meragukan kesimpulanya ?atau mungkinkah ada yang meragukan kedua premis ini ? Kebenaran premis " Tuhan adalah yang berkuasa untuk menerbitkan matahari " tidak perlu diragukan lagi, karena Tuhan menurut mereka dan menurut semua orang adalah ungkapan dari yang maha kuasa atas segala sesuatu, dan menerbitkan matahari adalah salah satu dari sesuatu itu. Ini merupakan  premis yang sudah maklum dan disepakati bersama. Dan premis " Yang berkuasa menerbitkan itu hanyalah Tuhanku, bukan kamu " sudah maklum berdasarkan kesaksian mata. Kelemahan Namrudz dan kelamahan siapapun selain zat yang mampu menggerakan matahari terlihat dengan indera. Dan yang dimaksud dengan " Tuhan " adalah yang berkuasa menggerakan dan menerbitkan matahari. Dengan mengetahui premis pertama yang sudah maklum dan disepakati bersama, serta mengetahui premis kedua yang maklum dengan kesaksian mata, yaitu bahwa Namrudz tidak mampu menggerakan matahari, pasti kita tahu bahwa Namrudz bukanlah Tuhan. Tuhan yang sebenarnya hanyalah Allah swt. Apakah kamu tidak melihat, bahwa premis - premis ini lebih jelas daripada premis - premis eksperimental dan inderawi yang telah engkau jadikan sebagai landasan kebenaran timbangan emas dan perak ?

Ia : " Pengetahuan tersebut pasti tersimpulkan aksiomatik dari timbangan besar. Aku tidak mungkin meragukan kedua premisnya dan tidak mungkin juga meragukan kesimpulanya. Hanya saja, menurutku timbangan ini hanya bisa difungsikan dalam persoalan dan situasi yang dihadapi Ibrahim saja, yaitu menafikan ketuhanan Namrudz dan menetapkan ketuhanan bagi Zat yang berkuasa menerbitkan matahari. Lalu, bagaimana dengan pengetahuan dan kasus - kasus lain yang menurutku sulit, dan aku tidak perlu membedakan kebenaran dan kebathilanya ?

Aku : " Timbangan emas dapat digunakan menimbang perak dan logam muia lainya. Sebab yang ditimbang bisa diketahui ukuranya bukan karena ia emas, melainkan karena ia memiliki ukuran. Dengan demikian, argumentasi di atas menyingkapkan pengetahuan ini kepada kita bukan semata karena ia merupakan pengetahuan, tetapi karena pengetahuan tersebut merupakan sebuah hakikat dan makna. Sekarang mari kita renungkan, mengapa argumentasi itu melahirkan kesimpulan tersebut ? kita dapat mengambil spiritnya dan melepaskan diri dari contoh kasus di atas, sehingga kita sanggup memanfaatkan timbangan tersebut sekehendak kita.

Kesimpulan tersebut terlahir dari argumentasi di atas, kerana hukum untuk sifat pasti menjadi hukum untuk yang disifati ( mawshuf ). Bila argumentasi itu disimpelkan, maka polanya sebagai berikut : sesungguhnya Tuhanku adalah yang menerbitkan, dan yang dapat menerbitkan adalah Tuhan. Kesimpulanya, Tuhanku adalah Tuhan. " Yang menerbitkan " adalah sifat Tuhan. Dan kita telah memberikan hukum bahwa yangmenyandang sifat tersebut adalah Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhanku adalah Tuhan. Argumentasi ini bisa diterapkan dalam kasus - kasus lain,yang dalam kasus itu kita mengetahui sifat suatu perkara juga mengetahui hukum yang melakat pada sifat  tersebut. Dari kedua pengetahuan itu terlahir pengetahuan ketiga, yaitu melekatnya hukum sifat pada perkara tersebut.

Ia : " Keterangan ini hampir mengetuk pamahanku. Akan tetapi, kalau aku masih meragukan hal itu, apa yang harus aku lakukan sehingga keraguan itu sirna ? "

Aku : " Buatlah standar - standar ukuranya dengan sesuatu yang sudah engkau ketahui seperti yang engkau gunakan dalam menimbang emas dan perak ?"

Ia : " Bagaimana aku membuat standarnya, dan dalam hal ini apa yang biasa dijadikan standarnya ? "

Aku : " Yang biasa dipakai sebagai standar di sini adalah konsep - konsep dasar pengetahuan ( al-'ulum Al-awwaliyyah ) aksiomatis yang disarikan dari pengetahuan inderawi, eksperimen, ataupun intuisi akal. Coba engkau perhatikan konsep - konsep dasar, tentu engkau tahu bahwa hukum yang ditetapkan atas sebuah sifat pasti kena juga kepada yang disifati. Semisal, seekor binatang yang perutnya buncit lewat di hadapanmu, kebetulan hewan itu adalah keledai jantan. Tiba- tiba seseorang berkata, " Binatang itu sedang hamil. " Engkau berkata kepadanya," Tidakkah engkau tahu bahwa keledai jantan tidak bisa hamil dan tidak bisa melahirkan ?" orang itu menjawab, " ya aku tahu hal itu berdasarkan pengalaman. " Engkau katakan lagi," Tidakkah engkau tahu bahwa ini adalah keledai jantan ? " Orang itu melihat ke arah binanang tersebut lalu menjawab, " Ya, aku mengetahuinya berdasarkan penginderaan dan penglihatan. " Untuk ketiga kalinya engkau berkata lagi kepadanya, " Sekarang tahukah engkau bahwa binatang itu tidak hamil ? " Setelah mengetahui dua dasar pengetahuan tersebut, dimana yang satu berdasarkan pengalaman dan yang satu lagi berdasarkan indera, orang tersebut tidak mungkin meragukan kesimpulan yang engkau utarakan. Bahkan, pengetahuanya adalah pengetahuan yang tidak terbantahkan yang tersimpulkan dari dua pengetahuan terdahulu. Pengetahuanya sama dengan pengetahuanmu mengenai persoalan timbangan, yang tersimpulkan dari pengetahuan eksperimental, bahwa yang berat pasti turun, dan pengetahuan inderawi, bahwa salah satu piringan timbangan tidak akan turun bersamaan dengan piringan lainya yang lebih berat. "

Ia : " Aku paham betul akan hal ini. Akan tetapi, aku masih belum jelas bahwa penyebab terlahirnya kesimpulan tersebut adalah karena hukum sifat merupakan hukum bagi yang disifati ".

Aku : " Coba renungkan ! Ucapanmu "  ini keledai jantan " adalah penyifatan. Sifat yang dimaksud adalah jantan. Dan ucapanmu " setiap keledai jantan tidak bisa hamil " adalah menetapkan hukum  " tidak bisa hamil " atas ( keledai ) jantan yang berkedudukan sebagai sifat. Dari situ pasti hukum " tidak bisa hamil " berlaku atas hewan yang tersifati oleh Jantan. Contoh lain, umpamanya engkau tahu bahwa setiap hewan sensitif. Kemudian engkau tahu bahwa cacing adalah hewan. Dengan pengetahuan tersebut engkau tidak mungkin ragu bahwa cacing sensitif. Argumentasinya bisa engkau katakan sebagai berikut : " Setiap cacing adalah hewan, dan setiap hewan sensitif ". Perkataanmu " setiap cacing adalah hewan " berarti menyifati cacing dengan hewan. Hewan adalah sifatnya. Jika engkau memberikan hukum atas hewan dengan sensitif, jisim, atau hukum yang lainya pasti cacing terkena hukum tersebut. Ini tidak terbantahkan dan tidak mungkin diragukan lagi. Memang benar, dalam hal ini disyaratkan bahwa sifat harus sama dengan yang disifati atau bahkan lebih umum daripadanya, sehingga hukum yang dikenakan atasnya bisa mencakup kepada yang tersifati olehnya. Begitu pula dalam teori fiqh : setiap minuman keras dari anggur memabukan dan setiap yang memabukan haram. Maka tidak mungkin diragukan lagi bahwa setiap minuman keras dari anggur haram. Memabukan adalah sifat minuman keras. Dengan demikian hukum haram yang melekat pada memabukan melekat juga pada minuman keras dari anggur, karena yang tersifati ( minuman keras ) termasuk di dalamnya. Penalaran seperti ini berlaku dalam setiap persoalan teoritis.

Ia : " Sekarang aku benar - benar paham, bahwa menggabungkan dua premis seperti itu melahirkan kesimpulan yang tak terbantahkan  ( natijah daruruiyah ), argumentasi al khalil Ibrahim a.s itu benar, dan timbanganya juga benar. Sekarang aku mengetahui batasan dan hakikatnya. Akupun telah mengetahui standarnya dari yang sudah aku kenal. Akan teteapi, aku ingin mengetahui contoh - contoh lain untuk menerapkan timbangan ini dalam persoalan - persoalan ilmu yang pelik. Menurutku, contoh - contoh yang telah anda kemukakan itu, tanpa timbangan dan argumentasi pun sudah jelas dengan sendirinya.

Aku : " Tidak seperti itu. Beberapa contoh di atas tidak bisa diketahui dengan sendirinya. Ia terlahir, karena merangkapkan dua premis. Keberadaan hewan tersebut tidak hamil umpamanya, hanya akan diketahui oleh orang yang tahu dengan inderanya bahwa itu keledai jantan  dan telah mempunyai pengalaman bahwa keledai jantan tidak melahirkan. Yang bisa jelas dengan sendirinya adalah pengetahuan - pengetahuan yang pertama ( premis - premis ), sementara pengetahuan yang terlahir dari dua premis pasti ada bapak ( premis mayor ) dan ibu ( premis minor ) - nya. Ia tidak mungkin jelas dengan sendirinya sejak awal, melainkan karena yang lain. Yang lain ( baca : dua premis ) itu dalam beberapa kasus sudah jelas, karena sudah ada pengalaman atau pengamatan. Demikian halnya keharaman minuman keras perasan anggur tidak jelas dengan sendirinya. Kesimpulan itu diketahui karena dua premis : pertama, ia memabukan. Ini diketahui lewat pengalaman ; kedua, setiap yang memabukan adalah haram. Ini diketahui berdasarkan berita yang datang dari sang pembuat hukum melalui lisan Nabi - Nya saw.

Contoh - contoh di atas, mengajarkanmu bagaimana cara kerja timbangan ini dan bagaimana cara menggunakanya. Jika engkau menginginkan contoh yang lebih jelimet dari ini, menurutku contoh - contoh itu banyak sekali. Bahkan dengan timbangan ini aku mengetahui banyak hal - hal yang jelimet. Dengan satu contoh pun aku rasa engkau akan merasa cukup. Salah satu contoh yang jelimet adalah bahwa manusia tidak muncul dengan sendirinya. Ia mempunyai penyebab dan pencipta. Demikian juga alam. Jika kita kembali kepada timbangan di atas, kita akan tahu bahwa manusia atau alam mempunyai penyebab dan penciptanya, yaitu Yang Maha Tahu. Sebab, menurutku setiap yang mungkin memiliki penyebab, dan ciri khusus alam atau manusia dengan ukuran tertentu adalah mungkin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia atau alam mempunyai penyebab. Orang yang mengetahui dan menerima dua premis di atas, tentu tidak akan meragukan kesimpulan tersebut. Terkecuali jika ia meragukan kedua premisnya. Untuk mengetahui kedua premis itupun, ia harus menyarikanya dari dua premis lain yang jelas hingga berujung pada konsep - konsep dasar ilmu ( al ulum al awwaliyyah ) yang tidak mungkin diragukan lagi. Konsep - konsep dasar ilmu yang samar merupakan dasar - dasar ilmu yang jelimet. Ia merupakan benih. Dari benih tersebut, seseorang bisa membuatnya menjadi berbuah, yaitu dengan cara menjaga dan memupuknya. Dengan memadukan keduanya, niscaya ia bisa memetik buahnya.

Seandainya engkau mengatakan, " Aku meragukan kedua premis ini. Apa alasan anda mengatakan bahwa setiap yang mungkin memiliki penyebab dan kenapa pula mengatakan bahwa ciri khusus manusia dengan ukuran tertentu adalah mungkin, bukan wajib ? " Maka aku jawab, " Pertanyaanku 'Setiap yang mungkin memiliki penyebab' sudah jelas, bila engkau memahami betul apa makna 'yang mungkin'. Yang aku maksudkan dengan 'Yang mungkin' adalah sesuatu yang mengambang ( taraddud ) di antara dua bagian yang sama. Jika dua hal sama, maka salah satu di antara keduanya tidak bisa dispesialkan dengan ada atau tiada dari zatnya, karena yang ditetapkan pada yang satu pasti melekat juga pada yang lainya. Itu tentang pertanyaanku yang pertama.

Adapun pertanyaanku " Ciri khusus manusia dengan ukuran tertentu adalah mungkin, bukan wajib " adalah seperti pertkataanku," Tulisan yang ditulis oleh seorang penulis dan memiliki ukuran tertentu adalah mungkin." Sebab tulisan dilihat dari sudut tulisan itu sendiri tidak memiliki satu ukuran tertentu. Mungkin saja panjang atau pendek. Dikhususkanya tulisan dengan panjang atau pendek pasti ada penyebabnya, karena hubungan ukuran panjang dan pendek dengan penerimaan tulisan adalah seimbang. Ini tidak terbantahkan lagi ( daruri ). Demikian juga hubungan berbagai ukuran dengan bentuk manusia dan lekak lekuknya adalah seimbang. Mengkhususkan bentuk manusia ke dalam ukuran tertentu pasti karena ada pelaku.

Dari situ aku beranjak dan mengatakan bahwa pelakunya pasti yang berilmu. Sebab, setiap pekerjaan yang tersusun rapi dan paten  pasti disandarkan pada ilmu pembuatnya. Konstruk tubuh manusia adalah konstruk yang tersusun rapih dan paten. Tentunya penyusunan dan pengaturanya disandarkan pada ilmu pembuatnya. Di sini ada dua premis. Jika engkau mengetahuinya, tentu engkau tidak akan meragukan kesimpulanya. Pertama, konstruk tubuh manusia adalah konstruk yang tersusun rapi dan paten. Ini dapat diketahui dengan melihat keserasian anggota badanya dan kesiapan masing - masing anggota badan untuk melakukan fungsi tertentun, sseperti tangan untuk memukul dan kaki untuk berjalan. Pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia akan melahirkan pengetahuan yang tidak terbantahkan. Merapikan susunan sudah pasti memerlukan ilmu. Orang yang berakal tidak akan ragu bahwa tulisan yang rapi hanya akan muncul dari orang yang mengetahui ilmu penulisan, sekalipun melalui perantara pena yang tidak berilmu. Bangunan yang bisa memberikan fungsi perlindungan, seperti rumah, kamar mandi, tempat penggilingan, dan lain sebagainya, hanya akan tercipta oleh orang yang mengetahui ilmu bangunan.

Kalau dalam hal ini masih ada celah keraguan, maka jalan untuk menghilangkan keraguan tersebut adalah dengan naik ke konsep - konsep yang lebih jelas hingga sampai pada konsep - konsep dasar. Penjelasan akan hal ini bukan menjadi tujuanku. Tujuan aku di sini adalah menjelaskan bahwa merangkapkan konsep - konsep dasar seperti yang dilakukan oleh al khalil a.s. merupakan timbangan yang benar dan dapat menghasilkan pengetahuan sejati. Jangan pernah mengatakan bahwa timbangan ini batil; karena perkataan tersebut berarti menganggap ajaran Allah SWT yang disampaikan kepada para nabi-Nya batil; juga membatilkan pujian Allah yang disampaikan kepada al khalil a.s, dimana Dia berfirman : Dan itulah hujjah kami yang kami berikan kepada ibrahim untuk menghadapi kaumnya ( Q.S 6 : 83). Ajaran Allah pasti benar sekalipun pendapat tentangnya tidak benar. Membatilkan hal ini berarti membatilkan semuanya ( pendapat dan ajaranya ). Padahal, tidak pernah ada orang yang menganggap ajaran ini bathil. 

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...